TEROR HANTU AMENG
Oleh : Yans Jaladara
Tak ada yang pernah menyangka, keluarga yang semula demikian harmonis dan pekerja keras, tiba-tiba berubah. Seisi rumah menjadi malas, bahkan selalu marah tanpa sebab yang jelas
Kejadian ini menimpa salah seorang sahabat misteri yang mukim di bilangan Jakarta Selatan. Aram demikian panggilan akrabnya adalah lelaki muda ini adalah sosok pekerja keras dan sekaligus memiliki banyak ide-ide segar. Oleh sebab itu jangan heran, jika ia tergolong banyak memiliki sahabat, baik yang kagum atau hanya sekadar ingin mendengar ide-ide segarnya tentang pelbagai hal.
Namun, sebagaimana hidup dan kehidupan dunia, diantara para sahabatnya, ternyata ada juga yang berhati culas. Mereka adalah karyawan lama yang mengaku punya andil cukup besar di perusahaan tersebut -- yang perlahan tetapi pasti, namanya terus memudar bahkan tenggelam karena ketidakmampuannya dalam mengantisipasi keadaan yang berubah sedemikian cepat itu.
Siapapun tak ada yang bisa menolak, sekarang, bahkan,pepatah lama pun juga harus mengikuti arus zaman. Kini, tak ada lagi biar cepat asal selamat. Juga tak ada lagi kata kerja keras yang harus diterapkan adalah kerja cerdas.
Sayangnya ketiga sahabatnya sudah merasa di zona aman, artinya sudah punya kedudukan, selalu sowan pada atasan dengan menceritakan ketidakmampuan para stafnya, dan giat mencari usaha sampingan pada jam kerja, merasa terusik dengan kehadiran Ara.
Dari bisik-bisik yang beredar diantara para karyawan lama, ternyata, ketiganya dibentengi oleh kekuatan tak kasat mata yang demikian dahsyat.
“Buktinya, kedudukannya seolah tidak pernah tergantikan walau ia telah melakukan beberapa kesalahan yang amat fatal,” demikian kilah Basroni, salah seorang pekerja yang tahu benar tentang ketiga tokoh tersebut.
Mendengar celoteh itu, Ara hanya tersenyum sambil menyahut sekenanya, “Hari gini masih main dukun?”
“Ah... Tidak semua masalah bisa terselesaikan dengan akal. Ini pulau Jawa , pulau yang dikeramatkan dan sejak dahulu terkenal mistiknya,” kilah Baroni dengan wajah bersungut.
Ara langsung terbahak.
“Bukan saya tidak percaya, tapi, semuanya bisa dihitung dengan cara-cara yang lebih rasional,” katanya menenagkan hati sahabatnya.
“Itu kata-kata orang yang telah lama duduk di bangku sekolah. Makanya, hal yang tak kasat mata selalu diabaikan,” sergah Basroni.
Ara yang tahu tepat sifat Basroni langsung saja melemah, “Yah.. Mau bilang apa kalau semuanya memang sudah berjalan seperti itu,” katanya sambil berjalan ke ruang kerjanya.
Basroni yang masih penasaran, langsung mendatangi Arah dan duduk didepannya. Setelah mengambil sebatang rokok san menghisapnya, kembali terdengar suaranya.
“Sebagai sahabat, aku hanya bisa mengingatkan. Hati-hati jika menghadapi tekan kita yang satu itu. Dukunnya banyak dan kuat-kuat.”
Sambil tersenyum dan menghirup kopinya, Ara pun menjawab; Terimakasih. Jujur bukan tidak percaya, menurutku, buat apa harus mengeluarkan uang sampai jutaan rupiah hanya untuk hal-hal yang tidak perlu.”
“Ini masalah kepuasan. Tampaknya, kawan kita senang jika engkau dan aku jatuh bahkan terbuang dari sini,” jawab Basroni dengan hati-hati,” buktinya, ia mengirimkan surat kaleng kepada beberapa orang yang kita kenal dengan baik,” lanjutnya lagi.
“Ya.. Bahkan sampai ditegur sama Wening,” jawab Ara sambil menceritakan betapa Wening amat marah karena dirinya tak mau memperjuangkan nasib Ferdian yang tak dapat kembali bergabung dengan mereka.
“Hah...” potong Basroni, dengan wajah penasaran.
“Aku cuku menjelaskan, pertama, aku sudah mengingatkan agar Ferdian jangan terlalu keras menghantam orang itu. Secara akal, ia orang lama dan punya kedekatan emosional dengan para pimpinan,” jawab Ara enteng.
“Tapi Ferdian keras kepala. Akibatnya, begitu dianggap tidak berhasil, ia tidak mungkin bisa kembali bergabung. Itu kenyataan yang terjadi,” jawab Ara lagi.
“Lha.. Kenapa kita berdua yang disalahkan?” tanya Basroni.
Ara hanya mengangkat bahu. Keduanya tenggelam dalam lamunan masing-masing. Tak lama kemudian, BAsroni pun memecahkan keheningan; Mungkin Ferdi panik. Harus di rumah, sementara kebutuhan untuk si kecil cukup tinggi,”
“Bisa... Bisa,” jawab Ara sambil geleng-geleng kepala.
Waktu terus berlalu. Hingga pada suatu malam, Pak Zen, tetangga yang memang sering bertandang ke rumah Basroni mendadak datang dengan membawa beberapa buah botol kosong.
“Jangan berisik, aku akan menangkap sosok hitam besar yang ada di depan pintu pagar”, katanya dengan nada ketus.
“Maksudnya?” Tanya Basroni penasaran.
“Ya... Ada delapan makhluk kiriman dirumahmu,” sahut nya sambil membuka semua botol yang dibawanya,” tolong ambilkan garam,” tambahnya lagi.
Setelah garam diberikan, tampak Pak Zen berkomat-kamit sambil sesekali meniup garam kasar yang ada digenggamannya. Dan tak lama kemudiaan, iapun berjalan ke setiap sudut rumah dengan membawa botol.
Kelihatannya, Pak Zen yang piawai dalam mengamankan rumah atau pekarangan dari gangguan makhluk halus tidak mendapatkan perlawanan yang berarti. Buktinya, hanya dalam waktu lima belas menit, ia berhasil menagkap ke delapan makhluk halus itu.
Sambil menghirup kopi panas dan menyalakan sebatang rokok, Pak Zen pun berkata,” Tolong berikan garam ini kepada Ara. Dia sudah tahu apayang harus dilakukan.”
“Baik pak, terima kasih,” jawab Basroni dengan harap-harap cemas.
“Tampaknya, teman sekantormu tidak senag kalian berdua masih bekerja disana,” gumam Pak Zen.
Mendengar itu, Basroni pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Pak Xen pun hanya diam dan terus mendengarkan dengan serius. Dan tak lama kemudian terdengar suarany,” Makhluk kiriman itu memang tidak mengganggu, ia hanya membuat Mas Bas menjadi malas, dan gampang terpancing emosi,”
“ Apa tujuannya?” Potong Basroni cepat.
“Kalau Mas Bas malas, sudah tentu bakal dapat peringatan dan akhirnya bukan tidak mungkin akan dikeluarkan atau dipaksa mengundurkan diri oleh perusahaan,’ jawab Pak Zen enteng.
“Waduh...” hanya itu yang terlontar dari mulut Basroni.
Sementara PAk Zen dengan tanang dan enteng menambahkan, “Biarkan saja, yang perlu, Mas Bas dan Mas Ara selamat dan terhindar dari penghuni makhluk hitam itu.”
“Dan yang mengirim tak pernah sadar, jika Mas BAs dan Mas Ara kebetulan kenal dengan saya,” tambahnya sambil mohon diri.
Esoknya dikantor, Ara tampak lesu. Sosok yang biasanya periang dan banyak cakap itu, sekali ini berubah menjadi pendiam. Basroni mendekati sahabatnya sambil menyapa; “Ayo... Ngopi.”
Ara menoleh sesaat kemudian duduk. Wajahnya tampak kusut. Padahal biasanya ia dikenal sosok yang necis dan parlente. ‘Malas...,” katanya lemah.
“Ow... Ada masalah?” Pancing Basroni.
Ara menggeleng. Tak lama kemudian terdengar gumamnya; “Gak tahu, belakangan rasanya pikiran gak karu-karuan. Pepat.”
“Aku dapat pesan dari Pak Zen,” bisik Basroni.
Mendengar itu, Ara bagai terlonjak dari tempat duduknya dan langsung bertanya;
“Apa katanya?”
BAsroni langsung menceritakan apa yang semalam didengarnya dari PAk Zan. Ara hanya diam, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengambil sebatang rokok dan langsung menyalakannya. Ara pun berkata; “Kok sasarannya jadi kita?”
“Itu yang aku bingung”,jawab Basroni.
“Mungkin dia panik. Biaya untuk si kecil tinggi, sementara ia belum kembali bekerja,” kata Ara singkat.
“Bisa jadi”, ujar Basroni membenarkan, tapi, yang perlu, siram garam ini didepan pintu pagar dan di empat penjuru rumah, “ tambahnya sambil menyerahkan bungkusan.
“Baik, sampaikan terima kasihku pada Pak Zen. Nanti, begitu pulang, langsung akan aku kerjakan,” ujar Ara sambil menyimpan bungkusan itu didalam tasnya.
Kemudian, keduanya hanya saling pandang. Wajar, sebab, Basroni dan Ara tak pernah menyangka bakal mendapatkan balasan seperti itu dari orang yang selama ini banyak mereka bela.
“Padahal, dulu, aku pikir dia bisa maju. Kalau bicara selalu pakai konsep, makanya aku turut memperjuangkan agar dia bisa menjadi pegawai tetao disini,” gumamnya.
Ah.... Sudahlah aku sendiri tidak menyangka jika ia tega berbuat seperti itu kepada kita. Bahkan, beberapa orang juga memperlihatkan surat kaleng yang diterimanya kepadaku,” timpal Ara, “padahal aku cuma menginginkan, orang itu jangan dilawan,” tambahnya lagi.
“Biarlah... Biar dia merasakan kerasnya hidup ini. Aku juga ingat waktu dikantor lama, pimpinan selalu mengingatkan tiga hal, kalau ingin maju, selain jujur dan punya ilmu yang cukup, kuta juga harus punya banyak teman. Karena, hanya teman yang bisa menolong kita,” ujar Basroni sambil berjalan menuju ruangannya.
Sepeninggal Basroni, Ara pun mencoba merenungi berbagai kejadian yang dialaminya belakangan ini, Ia hanya tersenyum sambil memuji kebesaran Allah.
“ Pak Zen benar.. Belakangan, otak rasanya pepat dan maunya marah-marah melulu,” bisiknya.
Sekembalinya dari kantor, sebelum masuk ke dalam rumah, Ara pun melaksanakan apa yang dipesankan oleh Pak Zen. Tiap melontarkan garam, Ara hanya merasakan kesiur angin seolah ada sesuatu yang bergerak pergi. Hati kecilnya berkata, semoga makhluk hitam besar yang konon bernama Ameng kembali kepada tuannya, yng mukim entah dimana.
Dan benar, ketika ia memasuki rumah, berkat pertolongan Allah lewat garam yang diberikan oleh Pak Zen, tiba-tiba Ara merasakan hatinya menjadi bertambah tenang. Dan Ara pun kembali seperti semula.
Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
>