TEGURAN LELEMBUT MEMBUKA MATA HATI
Oleh : Ono P. Haisan
Bukan bermaksud mengungkit kembali peristiwa pahit yang terkubur di masa silam, namun penulis sengaja ungkap kepermukaan atas dasar nilai kemanusiaan yang patut diteladani. Semoga saja bencana tersebut, jadi cermin bagi pembaca setia majalah Mister.
Tak dinyana, pertemuan dengan sosok gaib ternyata bebuah petaka. Pasalnya, ketika bukit di dusun Jemblung yang biasa mereka tanami palawija, tiba-tiba berubah menjadi teror maut, lebih dari seratus orang terkubur hidup-hidup. Begitu pula satu dusun rumah warga yang telah puluhan tahun mereka tempati jadi korban timbunan material longsor. Meski kini, lokasi bekas bencana itu telah ditutup, namun beragam pengalaman getir masih membekas dan sulit dihilangkan dari ingatan mereka.
Bahkan salah seorang korban sempat mengalami goncangan jiwa. Untung segera tersadar dan mata hatinya mulai terbuka. Dirinya yakin, jika semua itu adalah kehendak Yang Maha Khaliq. Lelaki paruh baya yang akrab disapa lek kumis ini, dengan terbata-bata mengisahkan bagaimana pergulatan antara hidup dan mati pada saat bencana itu terjadi.
Tak terlintas dalam benak, jika tempat tinggalnya dan ratusan rumah lain di penghujung tahun 2014 menjadi korban jalur maut luncuran jutaan kubik, tanah material bebatuan dan patahan batang pepohonan dari atas bukit yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka. Padahal secara realitas, perbukitan yang menjulang disebelah utara dusunnya itu, aliran longsor tersebut seharusnya melewati sungai dan ladang yang jauh dari rumah-rumah mereka.
Ternyata rencana manis Tuhan itu tak satupun manusia yang mampu memprediksi. Dalam hitungan menit, dusun Jemblung, Desa Sampang, kecamatan kerangkobar kabupaten banjarnegara, jawa tengah jadi lokasi makam umum dadakan setelah tertimbun tanah perbukitan yang turun dalam kecepatan tinggi. Tragisnya, kejadian tersebut justru disaksikan Lek Kumis dengan mata kepala sendiri. Gelombang tanah yang turun deras itu menerjang dan memporak-porandakan dusunnya.
Lelaki 58 tahun ini menuturkan, peritiwa menegerikan itu berawal saat dirinya hendak pulang meninggalkan ladang. Lek Kumis memang dikenal ‘manuk’ nya diperbukitan tersebut. Selain kerja serabutan sebagai tukang batu, dan tukang ngerek padi di sawah, diwaktu luang ia isi dengan menggarap ladang di lereng tersebut untuk ditanami jagung, ketela pohon, ketela rambat, dan kacang tanah.. Maka tak heran jika dejak munculnya srenggenge di ufuk timur hingga menjelang Maghrib, bisa dipastikan dirinya akan melintas di lereng bukit yang ada di utara dusunnya itu. Tek peduli cuaca terang ataupun hujan, ia tetap mendaki bukit tersebut untuk berladang.
Diceritakan, sore itu gerimis mulai turun. Lek kumis mengajak istri, beberapa ponakan dan seorang tetangga, untuk menyudahi pekerjaan memetik jagung yang sedang dipanen. Tidak biasnya, entah kenapa saat itu dirinya tiba-tiba berkeinginan untuk menyudahi pekerjaan dan mengajak mereka pulang. Dan tanpa bertanya alasannya, mereka pun manut saja pada lek Kumis. Selama perjalanan menuruni lereng, tak terlintas firasat apapun dalam benak. Namun secara tiba-tiba lek kumis mendengar suara gemuruh dan patahan pepohonan tumbang yang berganti dengan suara bebatuan jatuh begitu dekat. Tak lama berselang disusul oleh teriakan kedua orang ponakannya yang berlarian di belakang dengan mimik ketakutan.
Menyaksikna kedua anak kakaknya histeris semakin membuat Lek Kumis kaget. Begitu pula istrinya. Suami-istri itu segera tersadar, bahwa saati itu mereka sedang dalam bahaya besar. Terlebih saat menyaksikan ponakannya gulung kuming terhantam lungsuhan tanah lereng yang melorot turun. Mereka segera berlari menyelamatkan diri, menghindari longsohan tanah material.
Namun terlambat, dalam waktu singkat tiba-tiba runtuhan tanah berlumpur disertai batang-batang pepohonan yang tumbang berguguran menimbun semua yang ada di lokasi. Belum juga menyadari sepenuhnya, Lek Kumis yang waktu itu membawa bronjong isi jagung hasil panen langsung terdorong hingga ratusan meter. Saat itulah ia terpisah dari istri tercinta.
Luncuran material tanah itu, menurutnya, bagai gelombang lava gunung yang tengah erupsi hingga menyeret semua benda yang menghadangnya.
“Saya tergukung tanah lumpur cukup jauh. Setelah sadar tubh saya sudah terkubur lumpur sampai kepala,” kata pria yang mengaku terkubur hingga longsoran tanah bukit tersebut. Entah berapa lama ia terkubur, yang jelas begitu dirinya tersadar, ia baru mengerti, jika dirinya telah menjadi korban bencana tanah longsor.
Dengan sekuat tenafa berusaha melepaskan diri dan timbunan lumpur, sedikit demi sedikit ia mengerak-gerakkan tubuh, tak urung kepalanya pun mucul ke permukaan. Namun apa lacur, katanya waktu itu sisa tenaganya sudah terkuras habis, hingga membuat tubuhnya lemas tanpa daya. Selanjutnya, ia mengaku tak ingin apa apa lagi.
Entah berapa lama tak sadarkan diri, ketika siuman, ia begitu kaget menyadari lokasi tempatnya terkubur sudah dipenuhi air hujan. Meski tubuhnya masih tertanam, namun memori ingatannya masih normal. Ia ingat, istrinya juga terbawa arus lumpur hingga terpisah. Meski tak berdaya dan hanya mengandalkan penglihatan, ia tetap mencari posisi sang istri. Nemun tak banyak yang dilihat. Pandangannya terbats karena keadaan disekitar itu sudah gelap.
Namun ia sedikit lega, ia yakin posisi istrinya tidak jauh daru tempatnya terkubur. Itu bisa dilihat dari adanya camping (penutup kepala) yang tadi dipakai istrinya. Lek Kumis berusaha minta tolong, namun tak satupun orang menyahut. Padahal waktu itu dengan jelas ia mendengar jerit tangis dan teriakan orang-orang yang memanggil nama-nama warga Jemblung yang telah dadi korban bencana longsor seperti dirinya.
Selepas terdengarnya suara pemberitahuan tentang ‘bencana longsor’ dari mesjid kampung sebelah, Lek Kumis menyaksikan puluhan orang membawa senter dan oncor (obor) mulai menyisir likasi. Saat itulah ia pergunakan kesempatan tersebut untuk minta bantuan. Kali ini upayanya berhasil, tak lama beberapa orang berlarian menuju kerahnya.
Berbagai upaya dilakukan warga untuk mengeluarkan tubuhnya. Akan tetapi usaha itu ternyata tak segampang yang dikira. Pasalnya, kaki kanan lelaki bertubuh kekar itu tertindih babatuan besar. Secara dramatis, mereka berjibaku mengeluarkan tubuk Lek Kumis. Sejam kemudian, mereka berhasil mengeluarkan tubuhnya. Lek Kumis sendiri baru menyadari, bahwa sewaktu terkubur, ternyata dirinya berada di sebuah lokasi yang sudah dipenuhi beberapa tubuh warga lain yang sudah tidak bernyawa. Menyadari hal itu, ia jad terkesiap dan berucap syukurjika dirinya tidak senasib dengan mereka. Tak membuang waktu lagi, meski tubuhnyamasih dipenuhi lumpur serta kondisinya setengah sadar, saat itu juga langsung dilarikan ke RSUD Banjarnegara. Bersamanya ikut dibawa pula beberapa mayat yang satu korban lainnya yang ditemukan selamat.
Beberapa hari setelah dinyatakan kondisinya membaik, lelaki yang mengaku tidak tamat SD ini memilih tinggal di rumah ibunya di Desa Aiyan. Namun di rumah iyu hanya betah satu malam. Mengingat dirinya yang belum teridentifikasi dan tercatat sebagai penerima bantuan relokasi, ia lantas memilih untuk kembali ke posko penampungan di kantor Kecamatan Karangkobar. Pada hari pertama tinggaldi posko itulah ia baru menyaksikan tubuh istrinya yang tidak utuh lagi ditemukan tim SAR. Dirinya hampir tak mampu menerima kenyataan, jika jasad tersebut adalah tubuh wanita yang telah memberinya seorang putri.
Masih diingat betul, ketika pergi ke ladang, istrinya mengenakan jaket warna ungu, pemberian tetangga yang kerja di jakarta. Itulah yang menjadi faktor keyakinan jika jasad dengan wajah rusak itu adalah tubuh istrinya.
Saya sedih mengingat kejadian itu, sebab jasad dengan wajah rudak parah bukan hanya dialami istri saya, tapi ada tetangga lainnya yang juga senasib dengan istri saya. Bahkan ditemukan pula jasad yang tak memiliki kepala saat dievakuasi tim SAR,” terangnya dengan mata berkaca-kaca.
Nsaibnya bisa dibilang beruntung dibanding nasib ratusan warga lainnya. Ia menjadi salah satu saksi mata dari bencana longsor maut yang menimpa desanya. Namun tetap saja peristiwa tersebut telah berdampak buruk pada kehidupan selanjutnya. Kenapa tidak, dihari yang sial itu, ia juga harus merelakan istrinya tertimbun lumpur tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Sebelum tergulung tanah lumpur, dengan jelas saya melihat istri saya minta pertolongan saya, namun gelombang lumpur begitu dahsyat, sehingga saya tak bisa berbuat apa-apa,” kata pria berkumis tebal itu, sebagaimana yang dikutip penulis saat ditemui disebuah tempat di Dusun Aliyan.
“Benar-benar tak ada yang menyangka, jika kejadiannya separah ini, Mas. Hampir seluruh warga Dusun Jemblung terkubur hidup-hidup. Begitulah kalau alam sudah marah. Kita tak mampu berbuat apa-apa. Mungkin inilah yang disebut teguran Allah,” lanjutnya lirih.
Lebih jauh lelaki yang ‘keukeuh’ tidak mau nama aslinya dipublikasikan, dengan alasan takut menyinggung banyak orang, juga mengisahkan satu peristiwa gaib beberapa waktu sebelum dusunnya terkena bencana. Dirinya teringat saat pertemuannya dengan sosok misterius yang menemuinya sehari sebelum bencana terjadi. Saat itu Lek Kumis dan istri sedang memanen jagung hasil tanam sistem tumpangsari, di ladangnya.
Akan tetapi ditengah kegembiraannya mengunduh hasil jerih payahnya selamatiga bulan, mendadak di belakang telah berdiri sosok lelaki tua berjenggot dengan tongkat kayu ditangan.
Sejurus kemudian sosok tersebut mencolok pundak dan berkata,”Hati-hati mbok sampeyan mesti eling, ojo ngurusi senenge mawon. Ene sing liane, sing kowe laleno. (Hati-hati kemu harus ingat, jangan senengnya saja. Ada hal lainnya yang telah kamu lupakan),” kata lelaki dengan kain sarung yang melilit dipinggang.
Belum sempat Lek Kumis mencerna makna dari teguran lelaki yang tak dikenalnya itu, sosok itu kemudian raib, lenyap dari pandangan. Ia begitu terkejut menyadari satu peristiwa aneh yang baru saja dialami. Awalnya mengira lelaki itu adalah salah seorang buruh tani yang sedang bekerja di sebelah ladangnya. Akan tetapi setelah di cari, ternyata tak seorangpun yang berada di tempat tesebut.
Tak berpikiran macam-macam, kejadian tersebut ia lupakam dan dianggap sebagai halusinasi semata. Namun keesokan harinya, saat kembali melakukan aktifitas seperti biasa, entah kenapa, ada saja kejadian aneh yang kerap ia temui. Salah satunya adalah dika dirinya selalu saja mendapat wejangan dan nasehat darri orang lain, saat berpapasan.
Sepanjang hari itu pikirannya tertuju pada sikap orang-orang yang dianggapnya aneh. Ada saja orang yang mengingatkan agar dirinya berhati-hati. Tidak itu saja, suatu pagi, sebelum anaknya pergu kerumah neneknya di desa Aliyan, juga mewanti-wanti agar dirinya waspada. Menghadapi situasi itu Lek Kumis sempat menjadi bingung. Entah kenapa orang-orang disekitarnya selalu bilang seperti itu.
Dan tepat pada hari kelabu itu, disaat ia dan istrinya serta beberapa ponakan sedang dalam perjalanan meninggalkan ladang. Mendadak dari atas bukit yang jauh dari tempatnya memanen jagung, terlihat puluhan burung hutan berterbangan ke segala arah. Tah hanya hewan bersayap, namun juga disaksikannya beberapa ekor ular dan babi hutan berlarian turun bukit. Sejurus kemudian, terdengar olehnya suara gemuruh yang dibarengi dengan turunnya gerimis. Menyadari ada yang ganjil dengan kejadian yang tak biasa itu, ia langsung mengajak istri dan ponakannya menyudahi pekerjaan untuk meninggalkan tempat tersebut. Sebab, menurut pengalaman yang sudah-sudah, jika terjadi hal seperti itu, sesuatu yng buruk bakal terjadi.
Itulah sebabnya, tanpa berpikir dua kali dan juga tanpa memperdulikan hasil panen yang belum rampung di unduh, mereka segera meninggalkan ladang. Seolah ada yang menunjukan, waktu itu mereka tidak menuruni jalan setapak seperti yang biasa mereka lewati selama ini, baik saat berangkat maupun pulang. Akan tetapi mereka justru menuruni lereng menuju ke arah barat perbukitan.
Benar saja, baru beberapa puluh meter turun, mendadak lereng bukit yang selama ini jadi tumpuhan mendulang rejeki, tiba-tiba menjadi longsor. Lek Kumis bahkan melihat dengan jelas, bagaimana dahsyatnya jutaan kubik tanah yang longsor dari atas bukit mengerus ratusan pohon yang menghalangi jalur melorotnya lereng bukit.
“Dengan jelas saya menyaksikan semuanya itu seperti mimpi. Batang-batang pohon tumbang hingga luluh lantak. Sebagian bahkan berjatuhan ke arah kampung. Saya, istri dan keponakan berusaha menghindari terjangan longsor tak urung menjadi sasaran. Saya melihat perubahan drastis didepan mata saya. Bukan hanya rumah saya, namun ratusan rumah lainnya juga tertimbun dalam sekejap,” tukasnya setengah menyesalkan.
“Dan yang menyedihkan, ternyata istri saya juga jadi korban longsor dengan kematian yang mengenaskan. Untung pada saat itu anak saya tidak ikut ke ladang, ia sedang ke rumah mbahnya di Desa Aliyan.coba kalau ikut, mungkin saya hari ini tidak punya siapa-siapa lagi.”
Pasca kejadian, Lek Kumis yang semula periang mendadak jadi pendiam. Di lokasi posko penampungan ia selalu nampak termenung. Perubahan drastis tersebut membuat seluruh orang yang ada di penampungan menjadi iba. Namun karena naisp mereka sama, lambat-laun akhirnya merka pun mendiamkan saja. Apa yang terjadi pada Lek Kumis mereka pun mengalami.
“Diamnya saya saat itu sebenarnya sedang berpikir, dosa dan kesalahan apa yang telah diperbuat warga Jemblung, hingga mengalami nasib setragis itu,” gumamnya dengan nada serius.
Tak menemukan jawabannya, ia berusaha menghibur diri mencari solusi persoalan tersebut pada beberapa orang yang senasib disekitar posko. Namun sayang, jawaban mereka selalu sama, bungkam. Bahkan beberapa diantaranya menghindar begiru melihat dirinya mendekat. Entah apa alasan mereka bisa seperti itu.
Merasa terkucil, ia semakin gelisah. Pasalnya selama itu selain belum menemukan jawaban tentang kesalahan yang telah dilakukannya. Di posko penampungan ia belum tercatat sebagai warga Jemblung. Bahkan selama menunggu relokasi, dirinya tidak mendapat bantuan untuk sewa rumah selama satu tahun dan jaminan hidup. Hal inilah yang menambah perubahan pada dirinya. Lek Kumis tambah bingung dan kalut. Tak seorangpun yang bisa diajaknya bertukar pikiran. Merasa kesal pada nasibnya, akhirnya kekesalan tersebut ia lampiaskan pada dirinya sendiri. Hingga tak heran jika kemudian, ia kerap ngelantir dan bicara sendiri. Bahkan terkadang mengomel tak karuan hampir sepanjang hari.
“sampai sekarang jika ingat kejadian itu, malu sendiri rasanya. Bagaimana lagi, wong kejadiannya juga bukan saya sendiri yang mengalami. Tentu saja semua tidak bisa menolak bencana ini,” akunya tersipu.
Saat ditanya bagaimana cara melepaskan diri sari tekanan rasa bersalah sebagai akibat dari teguran lelaki misterius itu. Pemilik mata kubil ini lebih rinci menjelaskan, dihari-hari berikutnya, tanpa disadari dirinya bisa sadar sendiri setelah melihat dan menyaksikan bahwa bencana yang menimpa orang lain (tetangganya) lebih parah dari asih yang diamaminya. Jika dipikr, dirinya justru masih bisa bersyukur. Akibat bencana longsor itu, ia dan anak kesayangannya masih bisa selamat dari bencana.
Bercermin dari musibah yang menimpa tetangganya sehingga tak menyisakan satupun anggota keluarganya, dirinya sadar dan ikhlas bahwa musibah itu adalah cobaan dari sang Pencipta. Mungkin dengan cara itu, Allah akan memberikan jalan yang lebih baik untuk menapaki hidup selanjutnya.
“Untungnya saat kejadian putri saya sedang berada disumah simbahnya di Alisan. Kalau tidak, mungkin nyawa anak saya juga senasib dengan ibunya. Mengingat kenyataan itu, saya hanya bisa mengelus dada,” katanya pasrah.
Semua penyakit yang diderita manusia akibat dari kesalahan manusianya. Itu sendiri, obatnya pun barangkali dari dirinya sendiri. Pemahaman itu kemudian menyadarkan nya untuk secepatnya terbebas dari tekanan batin. Hari-hari berikutnya, tanpa diduga Lek Kumis mulai melakukan shalat malam dan dilanjutkan dengan dzikir. Semua orang yang berada di posko penampungan, melihat tingkahnya dianggap aneh. Sebab sudah lama mereka tidak melihat tetangganya itu menjalankan sholat.
Selesai sholat, lelaki yang lupa dengan tanggal pernikahan dengan almarhum istrinya, terlihat ada perubahan. Setiap kali selesai dzikir di mushola dan orang-orang di posko penampungan dibuai mimpi, demi menenangkan diri ia selalu merenung di sekitar tempat-tempat sepi. Tak perduli petugas dan beberapa relawan yang menginagtkan dirinya agar istirahat. Pada bale-bale bambu yang rusak, ia rebahan sambil memandang jutaan bintang dilangit. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Udara yang begitu dingindan basah, tak urung membuatnya menggigil. Sarungpun ditarrik untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Akan tetapi diatara pikirannya yang setengah sadar bahkan hampir melewati batas ambang kesadaran, samar-samar ia mendengar suara bale bambunya dipukul-pukul seseorang. Saat dilihat, ternyata sosok misterius yang pernah menemuinya di ladang telah hadir didekatnya. Entah muncul darimana, lelaki itu tiba-tiba saja duduk. Tentu daja hal itu membuat dirinya kaget bukan kepalang. Namun sosok itu segera tanggap lantas dengan gaya bahasa jawi kuni mengajak Lek Kumis ngobrol.
Sesaat diperhatikan, ternyata tak ada yang beda dengan lelaki tersebut. Dari sikap dan caranya bicara persis sepeerti waktu bertemu di ladang. Tapi entah kenapa datang lagi menemui dikala dirinya sedang mendapat musibah. Akan tetapi sebelum ia bertanya, lelaki itu langsung menjawab apa yang ada dalam pikirannya. Katanya, bahwa bencana yang menimpa wargany itu disebabkan oleh kesalahan warga itu sendiri. Karena mencoba melupakan tradisi leluhur. Sedekah hajat bumi yang sebelumnya sering dilakukan para leluhur sebagai ucapan terimakasih kepada sang penguasa murbeng alam, telah mereka tinggalkan, tanpa mengingat nikmat yang telah mereka terima selama ini.
Maka tak heran jika lelaki itu meminta dirinya agar segera melakukan ritual meditasi di punden Desa Sampang, tepatnya di sebuah lokasi bekas tunggul pohon sampang. Lek Kumis terperanjat kaget begitu dibangunkan salah seorang relawan yang sedang jaga. Orang tersebut mengatakan bahwa dirinya mengalami ‘gundam’ )bicara keras dalam tidur). Saking kerasnya suara gundam tersebut, sehingga membangunkan pengungsu lain yang berada di posko. Untung ia segera menguasai diri, kalau tidak tentu masih dianggap stress.
Pageblug
Jika diulur waktu ke belakang, konon, pohon tersebut adalah penting dalam terbentuknya sebuah desa. Sebab nama desa Sampang itu sendiri diambil dari nama sebatang pohon sampang besar berumur ratusan tahun. Namun karena adanya pergeseran budaya, akhirnya pohon tersebut ditebang. Saking besarnya pohon, lebar bekas batang pohon tersebut hingga cukup untuk menampung sekitar 50 orang. Usai prosesi penebangan itulah, muncul pageblug melanda desa yang waktu itu belum diberi nama. Diterangkan bahwa warga yang telah ikut andil dalam prosesi penebangan itu, terjangkit penyakit aneh. Setiap orang penyakitnya tidak sama. Namun rata-rata mereka merasakan penyakit tersebut hingga berminggu-minggu. Tak satupun obat yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut.
Baru setelah salah seorang menggelar ritual menghaturkan sesaji bubur merah dan bubur putih lengkap dengan kopi pahit dan kembang tiga warna, disekitar tunggul (bongkahan)pohon Sampang itu, perlahan korban pageblug langsung sembuh.
“Wallahualam, Mas. Saya bukannya percaya hal begituan, namun itu hanya tradisi sesepuh desa yang dilakukan sejak dulu. Proses itu hanya perantara saja. Istilah pinjam lidah dan pinjam tangan, namun keyakinan tetap saja pada Allah SWT,” ujar lelaki yang belakangan ikut bekerja dengan tetangganya dalam proyek pembuatan kanopi rumah dan gedung.
Bahkan ditambahkan pula, konon sosok misterius itu dulunya adalah seorang musafir adal Sampang Madura, yang hidup pada masa kejayaan Kyai Pragalba atau pangeran Prakaran. Menyebarkan ilmu linuwih dan syiar Islam adalah tudas mulia yang ia geluti pada masa itu. Hingga tak heran, kemudian ia menyebrang tanah jawa. Tujuannya saat itu adalah wilayah jawa tengah yang kehidupannya masih banyak agama lain yang berkembang di pulau jawa.
Saat mengembara tidak lupa menyampaikan dawah syiar Islam. Syiar lelakunya yang tak berujung, akhirnya sampai disebuah desa diwilayah perbatasan jawa tengah dan jawa barat. Dikawasan sejuk yang berbukit-bukit itu akhirnya ia beristirahat. Merasa perbekalan sudah mulai habis, iapun akhirnya mulai bercocok tanam beragam palawija. Meski ia sibuk sepanjang hari, namun ia tidak lupa akan tugasnya menyebarkan syiar Islam ke daerah-daerah lain yang warganya masih beragama Sunda Wiwitan.
Saat itulah pamor nya mulai dikenal masyarakat. Hingga ajal menjemput, sosok jadi teladan di masyarakat sekitar. Untuk mengingatkan jasa-jasanya, wargapun tidak lupa menanam pohon Sampang tak jauh dari tubuhnya dimakamkan. Bahkan lambat-laun warga setempat menamakan kawasan tersebut dengan nama desa Sampang.
“Sebenarnya warga sampang mengetahui jika cerita itu adalah salah satu dari mitos desa sampang. Sebenarnya versinya banyak, namun hanya cerita inilah saya ketahui dari keluarga saya dulu,” tungkasnya.
Seperti halnya yang dilakukakan setelah diberi wejangan sosok misterius malam itu. Keesokan paginya, tanpa banyak bicara ia dengan diantar anak semata wayangnya langsung menuju pundan sampang yang lokasinya kini berada di sekitar makam umum Sampang.
Tiba dilokasi, keduanya dibuat bingung. Pasalnya, tidak mudah menemukan pundan Sampang yng sudah lama dilupakan warga. Setelah tanya sana-sini tentang bekas pohon tersebut (tunggul-sunda), tak urung akhirnya diketahui bekas tunggul tersebut berada disalah satu sudut TPU Sampang. Bahkan posisinya sudah masuk ke lahan milik warga.
Setelah meminta izin ke pemilik lahan tersebut. Merekapun langsung melakukan prosesi ritual tabur bunga (nyekar). Tak banyak yang dilakukannya saat itu, hanya berdoa meminta kepada Tuhan, agar desa Sampang segera terbebas dari bencana. Dan ia juga tidak lupa mendoakan sosok yang menemuinya itu. Bahkan, ia berjanji untuk ke depannya akan kembali menghidupkan tradisi yang sudah dilakukan turun-menurun para sesepuh kampung, yakni ikut serta dalam sedekah bumi yang dilakukan setiap tahunnya.
Setelah prosesi tabur bunga, dia mendapat jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan leleki misterius dalam mimpi. Bahkan si pemilik lahan itupun mengerti makna dari melestarikan tradisi leluhur tersebut. Sejak saat itu ia berjanji tak akan pernah melupakan lagi tradisi tahunan kirim doa dan ucapan terimakasih pada leluhur dusun.
“Sekarang saya mengerti kenapa tradisi sedekah bumi itu tak bisa dibuat main-main. Dulu hal itu saya anggap hanya sebagai iseng saja yang yak ada apa-apanya. Jadi saya enak daja menikmati hasil bumi tanpa harus kehilangan sedikitpun untuk upacara tahunan. Setelah kejadian besar ini, barulah mata hati ini terbuka. Ternyata sangsi yang diberikan sang Pencipta itu cukup besar,” imbuhnya menutup cerita pengalaman pahit disaat terjadi bencana longsor beberapa waktu silam tersebut.
Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
>