SYAQ, UNUS & KHOUF KEMULIAAN DALAM KESUCIAN CINTA

SYAQ, UNUS & KHOUF

KEMULIAAN DALAM KESUCIAN CINTA


Oleh : Restoe Prawiranegoro Ibrahim


Rabi’ah al-adawiah adalah tokoh yang cukup terkenal dalam soal bercinta (Mahabbah), beliau wafat tahun 185 H (796M). Bagi beliau keinginan yang suci itu lebih tinggi nilainya dari pada takut dan penghargaan. Cinta yang murni tidak mengharapkan apa-apa, kecuali hanya ingin melihat, telinga belum pernah mendengarnya dan belum pernah tersatir di hati seorang manusia jua pun.

Baginya soal surga dan neraka adalah doal nomor dua atau bahkan tidak menjadi persoalan lagi, sebagaimana Rabi’ah sendiri pernah berkata kepada Allah; “Ya, Allah! Jika sekiranya aku beribadat kepadaMu hanya karena mengharapkan surgamu, biarkan, jauhkanlah Dianya padaku. Tetapi jika aku beribadah kepada engkau hanya karena semata-mata cinta kepadaMu, maka janganlah, ya Allah engkau haramkan daku melihat keindahan yang azali, Ya Allah! Jika kupuja Engkau karena takut pada neraka, bakarlah aku didalamnya,”

Manusia memang diciptakan oleh Allah SWT. Talah dibekali oleh perasaan cinta, namun kehadiran cinta bagi manusia bukanlah semata-mata untuk mencintai kepada sesuatu yang merei saja, lebih dari itu cinta hendaknya harus juga selalu menyatu dengan adanya yang membuat cinta. Karena cinta itu berasalh dari Allah, maka sudah sepantasnya kecintaan yang ada pada diri kita harus selalu didasarkan kepada Allah SWT. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam sebuah hadist nabi Muhammad SAW, yang artinya; “Sesungguhnya Allah Apabila mencintai seseorang hamba maka akan dipujinya.”

Seorang yang patuh dan taat serta menyadari atas keberadaannya, maka sudah barang tentu mereka tidak akan melanggar apa yang diperintahkan, mereka bersimbah dan patuh walau itu merupakan beban baginya, semua beban itu dianggap sebagai kenikmatan yang luar biasa, indah dan menyenangkan.

Maka cinta adalah tiga kekuatan (rasa, perksa cipta, dan karsa) yaitu perasaan dan kemauan dan tergabung menjadi satu, melepaskan diri dari berat tarikan bumi lalu terbang ke angkasa, sehingga lepas dari atmosfir bumi, dan sampai perbatasan itu dia di tarik naik ke atas oleh tenaga yang Maha Kuat, bahkan tenaga tarik bumi itu dari Dia datangnya.

Untuk itu Allama Muhammad Iqbal berkata; bahwasanya, “Akal saja tidaklah  dapat dibiarkan melalui batas dan hijab itu. Sebab akal itu pengecut! Dia tentu berteman dengan Isyiq, dengan rindu dan cinta! Barulah dia akan sampai kesana.”

Jaid suatu tanda kedekatan diri manusia kepadaNya adalah hanya sampai dimana manusia dapat mengambil perasaan cinta itu, karena cinta itu timbul dari yang Maha kuat (Allah), sebagaimana yang tertulis dalam Al-Quran dan Al hadist, yaitu; “Jika kamu cinta pada Allah, maka turutilah aku dan Allah akan mencintai kamu.” (Ali Imron ayat 30), juga Al-Maidah ayat 54, yang artinya demikian; Allah akan mendatangkan suatu ummat yang dicintaiNya dan mencintainya.”

Serta hadist Nabi mengatakan; “Hambaku senantiasa mendekatkan diriKu dengan perbuatan-perbuatan hingga Ku cinta kepadanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata dan tanganKu.”

Rasa takut yang menghantuinya menjadikan manusia berhati-hati dan waspada dalam semua tindakan, dia berbuat selalu berhati-hati dan takut jika semua apa yang dikerjakannya itu menyakiti perasaan Allah sehingga Allah itu lari menjauh dari diri kita.

Ketekatan pada diri seseorang kadang-kadang akan membawa dengan negatif, yang mengakibatkan manusia selalu was-was (syaq), namun jika ketakutan ini berfungsi kepada kepositifan, maka akan membawa manusia itu dekat kepadanya.

Suatu keberhasilan yang tak terhitungkan, di waktu dirinya berada di sisiNya, suatu kenikmatan yang luar biasa besarnya hingga dirinya melihat Allah yang ia harapkan.

Suatu harapan yang luar biasa yang setiap saat saja tidak mau ditinggalkan, kebersamaannya bergaul berdekatan denganNya, selalu didambakan, karena itu adalah merupakan kegembiraan dan kecerahan yang tak dapat dibeli.

Sungguh anrh pergolakan rasa yang terjadi dalam bercinta, kadang-kadang membuat syaq, rindu, manakala yang dicintainya itu terlihat bagaikan bertahta di puncak keindahan tiada tara, sedangkan ia sendiri merasakan lemahnya daya untuk menggapai tempat itu.

Ada kalanya ia berada dibawah pengaruh suka cita tak terkirakan tatkala sedang berdekatan dan menikmati kebersamaan yang tulus. Suka cita yang demikian disebut unus (gembira).

Kalau iman seseorang itu bertingkat, maka cara Allah memberikan tuntunan pun bertingkat pula, maka dari itu Allah menjadikan surga dan neraka, agar supaya jadi peringatan, dalan melaksanakan bercinta, sehingga dalam kepercayaan orang tashawuf ada timbul khouf (ketakutan) dan roja’ (pengharapan), namun bagi orang yang sudah tinggi ilmu pengetahuannya kepada Allah, mereka akan memadukan antara keduanya menjadi hub (cinta).


Penganut tashawuf yang sesat sajalah menundukkan ketentuan-ketentuan syari’at. Dan sufi yang benar adalah yang dalam kehidupannya ia tetap mematuhi kepastian hukum syari’at berupa haram, halal, sunnah, makruh, wajib, dan lain-lain.


Namun, pada waktunya, ia menyadari bahwa yang dicintainya itu begitu anggun, mulia , sempurna maka bergaunglah rasa kerakutan-ketakutan yang dinamakan Khouf. Maka lengkaplah cinta hamba kepada Allah kalau didalamnya sudah terdapat syaq, unus, dan khouf. Tentu saja ketuntasan cinta semacam itu menumbuhkan keyakinan akan datangnya balasan dari yang dicintainya, itulah yang dikenal dengan roja’.

Dalam keterkaitan itu seorang pecinta akan berusaha mencari cara-cara yang tetap, agar cintanya sampai di tempat yang benar, untuk itu ia tak akan ragu-ragu menumpah jalan-lain. Dan karena jalan yang lurus kepada Allah haruslah melalui utusanNya. Maka tanpa was-was lagi ia pun dengan suka rela memilih jalan itu, mencintai dan mentaati sunnah Rasulnya.

Sedangkan ucapan menambah jalan menuju oendekatan hakiki itulah yang dinamakan aqabah, pendakian, ia akan terus mendaki dan mendaki hingga tiba dipuncak, menyatu dengan sang dia. Maksudnya dalam mencari Sang Dia, ia tak kan meninggalkan syari’at itulahjalan yang lampang untuk mendaki ke puncak.

Berarti penganut tashawuf yang sesat sajalah menundukkan ketentuan-ketentuan syari’at. Dan sufi yang benar adalah yang dalam kehidupannya ia tetap mematuhi kepastian hukum syari’at berupa haram, halal, sunnah, makruh, wajib, dan lain-lain.

Bagaimana seorang bisa dinilai mencintai Allah? Apabila dalam kehidupannya justru melakukan bertentangan dengan syari’at dan sunnah? Tentu tak bisa, dalam surat Ali Imron ayat 31 sudah dijelaskan yang artinya; “Katakanlah hai Muhammad, Andaikata kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aturanKu, pasti Allah bakal mencintaimu, dan mengampuni dosa-dosamu. Sungguh Allah Maha Pengampun dan Penyayang.”

Inilah suatu jalan untuk menempuh kepada kehadiratNya dan ma’rifat kepadaNya, dengan cinta kepada Allah kemudian mengikuti aturan-aturannya serta menjauhi larangannya. Dan meminta pengampunan yang selalu diharapkan. Barulah mendekat kepadaNya.

Lebih konkret lagi pengertian yang diberikan kepada cinta (mahabbah)antara lain; memeluk kepatuhan pada Allah dan membenci dikap melawan padaNya. Menyerahkan seluruh diri pada yang dikasihi, dan mengosongkan hati dari segala-segalanya kecuali dari diri yang dikasihi (Allah SWT)

Kalau hati tidak singgah lagi kepadanya yang lain artinya negatif, niscaya ada lekatnya, ada tempat terpautnya yang positif, untuk itu yang diharapkan dalam arti cinta disini adalah cinta terhadap sesuatu itu hanya kepada Allah SWT yang kemudian naik dan menjelma menjadi cinta.


Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor -

>