LEGENDA BANYU BIRU

LEGENDA BANYU BIRU


Oleh : Julia A

Selain perpecahan di antara para petingginya, Islam sebagai agama yang memandang manusia memiliki derajat yang sama dimata Tuhan telah membuat kerajaan Majapahit pun mulai memudar,


Selaras dengan kehendak zaman, perlahan tetapi pasti, Kerajaan Demak Bintara dibawah pimpinan Raden Patah pun mulai menampakkan kewibawaannya. Rakyat kecil yang selama ini merasakan adanya jurang pemisah yang cukup lebar antara kelompok mereka dengan penguasa, mulai memeluk Islam.

Senyampang dengan keadaan itu, perseteruan yang terjadi diantara para pemimpin, membuat kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara itupun kian melemah. Hingga akhirnya runtuh. Hal ini ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Sirna Ilang Kertaning Bumi...

Sebagian masyarakat mulai memeluk agama Islam, sementara, yang masih memeluk agama nenek moyang menyingkir ke daerah lain, diantaranya ke sebelah selatan Kabupaten Pasuruan --- dan sekarang lebih dikenal dengan sebutan daerah Tengger.

Warga berkisah, diantara sekian banyak pelarian kawula Majapahit, terdapat dua prajurit --- yakni Kebut dan Tombro, yang akhirnya sengaja menetap di sebuah hutan yang sekarang menjadi ramai dan dikenal sebagai Desa Sumberejo, Kecamatan Winingan, Kabupaten Pasuruan.

“Menurutku, lebih baik kita berhenti di sini kakang,” demikian kata Kebut kepada sahabatnya, Tombro.

“Apakah Adi sudah lelah?” Tanya Tombro.
“Bukan lelah, lihatlah di sekitar kakang, hutan ini begitu rapat. Ini merupakan pertanda jika tanah di sekitar tempat ini subur. Dengan begitu, maka kita tak pernah kehabisan makanan.” sahut Kebut. Denga mantap sambil terus memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Tombro tercekat. Wajahnya tampak tegang, tanda ia belum bisa memutuskan. Tak lama kemudian, Tombro pun berdiri, selanjutnya berjalan-jalan untuk memeriksa keadaan di sekitar tempat itu.

Sementara, Kebut yang sudah merasa cocok, langsung saja bersandar pada sebatang pohon besar dan beristirahat. Hingga akhirnya, dari kejauhan, tampak Tombro, sahabatnya datang menghampiri dengan wajah riang.” Baik, Adi aku setuju untuk tinggal di sini, “katanya dengan mantap.

Kedua sahabat itu pun saling berpelukan dengan perasaan yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Setelah cukup beristirahat, akhirnyam hutan itupun mereka babat untuk dijadikan daerah pemukiman baru. Karena hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon pinang (Jambe-Jw), maka daerah itu akhirnya dikenal dengan sebutan Jambean. Sampai sekarang, Jambean merupakan salah satu pedukuhan di Desa Sumberejo.

Sejak itu, kedua orang bekas prajurit Majapahit hidup dengan tenang dan damai di daerah yang baru dibukanya, sementara, untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, keduanya mengolah tanah untuk ditanami berbagai jenis tanaman yang bisa dimakan. Tidak berhenti sampai disitu, Kebut juga membuat beragam jenis alat-alat pertanian. Wajar, karena sejak dahulu, ketika di Majapahit, Kebut memang dikenal sebagai sosok yang ahli dalam pembuatan berbagai senjata tajam. Oleh karena itu, salah satu barang peninggalan yang berupa paronI (alat untuk menempa besi-Jw) masih dapat disaksikan dan terletak di sebelah makamnya yang terdapat didalam Banyubiru.

Kini, daerah tersebut pun mulai ramai. Anehnya, walau Tombro hanya hidup dari bertani, namun, sampai sekarang, namanya masih terus diperbincangkan banyak orang yang datang ke Banyubiru.

Hal itu bermula, pada suatu hari, kerbau milik Tombro sengaja dilepas dari kandang untuk merumput atau berjubang di sekitar desa. Pada masa itu, semua binatang peliharaan dilepas untuk mencari makan sendiri tanpa perlu ada gembala atau orang yang mengawasinya.

Kambing, sapi aatau kerbau, dibiarkan merumput dengan bebas, Bila kerbau kebetulan tidak membajak di sawah, maka binatang itu juga dibiarkan merumout dan berkubang disekeliling tempat tinggal tuannya, dan sore harinya, binatang-binatang itu akan masuk ke kandang yang terletak di belakang rumah sang pemilik.

Berkebalikan dengan hari-hari sebelumnya, sekali ini, ketika akan menutup pintu kandang, ternyata ia tak menemukan kedua ekor kerbau miliknya. Tanpa banyak cakap, bergegas ia mencari kerbau-kerbaunya itu kehutan. Dengan mengikuti jejak yang ditinggalkan, akhirnya, Tombro berhasil menemukan kedua kerbaunya yang sedang berkubang di sebuah kolam kecil yang selama ini jarang dipergunakan oleh siapa pun.

“Ayo pulang... Pulang...!” demikian teriak Tombro.
Tidak seperti biasanya, sekali ini, kedua kerbaunya tidak bergerak barang sedikit pun dari tempatnya. Dengan penasaran, Tombro pun mendekat. Hatinya langsung saja tercekat, betapa tidak, kedua kerbaunya ternyata terperangkap dalam lumpur. Dengan sigap, Tombro langsung memetik empat lembar daun keladi yang banyak tumbuh di tempatnya itu, kemudian, keempat daun tadi dihamparkan di depan kedua kerbaunya miliknya itu.

“Ayo ... Bangun... Pulang...!” Demikian teriaknya memberi semangat.
Perlahan, kedua kerbau itu berusaha untuk menggapai daun keladi yang terhampar di depannya. Sekali ini berhasil ... Dan kedua kerbaunya itu pun sontak berlari pulang ke kandangnya.

Tombro yang masih diliputi dengan rasa penasaran yang teramat sangat tidak langsung pulang, sejenak ia berdiri di tepi kolam bekas kerbaunya berkubang. Hatinya kian tercekat dan bertanya-tanya. Betapa tidak, kali ini, didepannya bukan lagi lumpur yang keruh, melainkan, sebuah kolam berair teramat jernih sehingga pasir-pasir yang ada di dasarnya tampak dengan jelas.

Berulang kali Tombro menarik napas dalam serta menggigit lidahnya. Terasa sakit, artinya, ia tidak sedang bermimpi...

Ketika matanya kembali menatap dasar kolam, sekali ini, tampak dua ekor ikan sangkaring yang sedang berenang kian kemari --- sampai sekarang, ikan jenis itu terus berkembang biak dan menjadi penghuni kolam. Jernihnya air kolam dengan bentangan pasir didasarnya, membuat airnya kelihatan membiru.

Penemuan kolam yang dianggap ajaib itu, sudah barang tentu menggegerkan seisi kampung Jambean, semua berbondong-bondong datang untuk melihat. Sejak itu, maka penduduk pun memeliharanya dengan baik, tiap hari orang-orang pun mandi disitu, entah siapa yang memulai, akhirnya kolam atau sendang tersebut dikenal dengan sebutan Banyubiru.

Beberapa saat kemudian, kabar tentang penemuan kolam itu sampai ke telinga Bupati Pasuruan yang kala itu dijabat oleh Raden Adipati Nitingrat. Bersama dengan pembesar Belanda, P.W. Hoplan, keduanya menyempatkan waktu untuk melihatnya.

Pemerintah Belanda yang tertarik dengan keindahannya dan keasrian kolam itu, langsung membangun dan menamakannya sebagai Telaga Wilis dan dijadikan sebagai tempat pemandian umum --- sementara, untuk memperindah, maka, sekeliling kolam dibuat taman-taman bunga yang dipenuhi dengan berbagai jenis patung yang diambil dati Singasari.

Agaknya, karena semasa hidup, selain memelihara kerbau, Tombro juga memelihara kera, maka setelah wafat dan dimakamkan di dekat pemandian, kera-kera itu terus berkembang biak menjadi beratus-ratus ekor. Sayangnya, ketika pendudukan Jepang, kera-kera itu ditembaki. Sisanya, menyingkir ke hutan dekat dengan daerah Umbulan yanf sampai sekarang terkenal sebagai sumber air minum di Pasuruan.
Berkebalikan dengan sahabatnya yang sampai sekarang acap menjadi perbincangan pengunjung yang datang ke Banyubiru --- Kebut yang hanya menekuni pekerjaan sebagai petani dan pembuat berbagai alat-alat pertanian --- makamnya berjajar dengan makam istrinya, Mbok Kainah, dan terletak di sebelah utara kolam renang lama.

Menurut tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, tiap hari Jumat, banyak orang Tosari yang berziarah ke makam itu. Anehnya, siapa pun yang nekat memindahkan paron (alas penempa besi-Jw) yang berada di dekat makam Kebut, maka, esoknya, benda tersebut kembali ke tempatnya semula.



Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor -

>