SILUMAN PULAU WARU
Kera-kera berwujud menyeramkan itu datang di malam gelap. Mereka siap merenggut mangsa dengan buas...
Oleh : Abdul Wahab
Sejak kecil bakat Nurcahyo di bidang keagamaan memang sudah kelihatan menonjol. Prestasinya dalam mengaji sangat bagus. Sayangnya, Nurcahyo adalah anak orang yang tidak mampu. Sebenarnya Nurcahyo ingin melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren atau sekolah yang lebih tinggi.Tapi karena tidak ada biaya, makanya bekerja di toko milik Pak Harun, guru ngajinya. Perhatian Pak Harun pada Nurcahyo sangatlah besar, karena prestasi dalam mengaji bagus. Oleh karena itu, disamping memberi pelajaran mengaji kitab suci Al-Qur’an, Pak Harun juga memberikan beberapa amalan ilmu-ilmu gaib kepada Nurcahyo. Berbagai macam lelaku batin telah dijalani Nurcahyo dengan bimbingan Pak Harun. Nurcahyo berhasil menguasai ilmu kanuragan, seperti Asmak Kurung, Asmak Walisongo, serta beberapa amalan Hidhzib.
Satu tahun sudah Nurcahyo bekerja di Toko Pak Harun. Uang hasil kerja di toko Pak Harun sudah ia kumpulkan. Sebagian ia simpan untuk bekal merantau. Tekad Nurcahyo untuk merantau sudah bulat dan tidak bisa dihalangi lagi. Dengan berat hati Nurcahyo menemui Pak Harun dirumahnya.
“Assalamu’alaikum...,“ Nurcahyo mengucapkan salam sambil mengetuk pintu rumah Pak Harun. Terdengar suara menjawab salam. Tidak lama pintu rumah Pak Harun dibuka.
“Ada apa, kok tumben malam-malam kamu datang kemari, Cahyo?” Tanya Pak Harun.
“Nuwun sewu, Pak, bila kedatangan saya mengganggu istirahat Bapak. Saya kemari untuk minta ijin pada Bapak, saya mau keluar kerja di toko Bapak,” jawab Nurcahyo.
Sejenak mereka berdua saling diam, lalu Pak Harun berkata. “Baiklah, kalau itu sudah menjadi keinginanmu. Bapak hanya bisa mendoakanmu, agar cita-cita mu tercapai,” cetus Pak Harun
“Terima kasih, Pak, “sahut Nurcahyo pelan.
“O ya, sebelum kamu berangkat nanti, mampir kesini dulu, Bapak ada sesuatu untuk kamu!” Demikian pesan Pak Harun dengan wajah bijak.
Seperti yang telah dipesankan Pak Harun, pada hari Minggu Nurcahyo datang kembali ke lelaki baik hati itu. Rupanya Pak Harun sudah menunggu kedatangan Nurcahyo.
“Kamu berangkat kapan Cahyo? Mau kerja dimana?” tanya Pak Harun.
“Insya Allah besok siang, Pak! Saya akan bekerja di Jambi, di sebuah percetakan tempat Kang Sadrun bekerja. Kebetulan disana masih ada lowongan. Jadi Kang Sadrun membawa saya masuk kerja disana.”
“Hati-hati, Cahyo. Kamu harus bisa jaga diri baik-baik. Jangan lupa kamu baca amalan Hidzib Nawawi yang pernah aku berikan! Insya Allah kamu akan mendapat perlindungan dari Allah SWT dari gangguan manusia maupun makhluk lain yang ingin mencelakaimu!”
Setelah berpesan demikian, lalu pak Harun masuk kedalam kamarnya. Sebentar kemudian ia keluar dengan membawa sebuah sabuk kulit dengan ukuran sedang.
“Aku ada sesuatu untukmu, ini pakailah!” kemudian Pak Harun menyodorkan sabuk itu kepada Nurcahyo, yang menerimanya dengan senang hati.
“Insya Allah akan berguna jika kamu pakai nanti. Tapi ingat kalau yang menentukan selamat atau tidaknya seseorang itu hanyalah Allah semata. Sabuk itu hanya sebagai sarana untuk meminta keselamatan dari Allah, jangan kamu tergantung pada sabuk itu, bergantunglah pada Allah semata.
Nurcahyo kemudian memohon diri, Pak Harun masih sempat berpesan sekali lagi pada Nurcahyo
“Jaga sholatmu Cahyo. Jangan sampai ada yang tinggal.”
“Ya Pak! Saya akan jaga sholat saya, karena itu kewajiban,” jawab Nurcahyo.
“Syukurlah, kalau kamu tahu...!” Pesan lelaki baik itu sekali lagi.
Esoknya Nurcahyo berangkat ke Jambi bersama Kang Sadrun. Sesampainya di Jambi, untuk sementara ia menumpang dirumah kontrakan Sadrun. Nurcahyo mulai bekerja, ia ditempatkan di bagian kantor, dan kadang-kadang ia disuruh majikannya atau bosnya untuk mengantarkan surat-surat ke relasi bosnya.
Karena kejujuran, keluguan dan keuletan dalam melakukan tugas, lalu pada suatu hari menjelang jam kerja berakhir, Nurcahyo dipanggil menghadap Pak Galib, bosnya. “Duduklah disini, Cahyo. Kamu sudah berapa lama kerja disini?” Tanya sang bos.
“Sudah dua bulan, Pak!” jawab Nurcahyo. Kemudian Pak Galib bertanya lagi.
“Kamu sekarang tinggal dimana?”
“Saya masih numpang di rumah kontrakan Kang Sadrun, Pak,”jawabNurcahyo lagi.
“Begini saja, Cahyo. Bagaimana kalau kamu tinggal dirumahku saja. Berangkat kerja, kamu bisa sama-sama dengan Joni dan Agus naik mobil perusahaan. Soal makan malam dan sarapanmu biar disediakan Mak Karti,” demikian Pak Galib membujuk Nurcahyo.
Memang menurut penuturan Sadrun, rumah dan perusahaan Pak Galib lumayan banyak. Pak Galib memiliki tiga buah perusahaan percetakan terbesar di Jambi, dan usahanya yang paling besar adalah tambak udang. Dua perusahaanya ada di Ketapang Ilir dipegang oleh Bu Mega, istri pertama Pak Galib.
Istri Pak Galib ada tiga, yang pertama adalah Bu Mega, yang kedua Bu Li Chen seorang wanita keturunan Tionghoa. Dan ketiga Kinanti, seorang mahasiswi sebuah PTS di Jambi. Sayang sekali Kinanti meninggal tiga bulan sebelum Nurcahyo bekerja pada Pak Galib. Kinanti meninggal secara mendadak dengan cara yang sangat mengenaskandi rumah Pak Galib yang ada di kawasan Meranti Ilir. Bahkan tahun lalu dalam jangka waktu setengah tahun, dua orang anak Bu Li Chen meninggal mendadak dirumah yang sama. Kematian Kinanti, Rangga dan Januar sangat mencurigakan,karena ketika menjelang ajal ketiganya seperti dicekik. Sejak peristiwa itu, Bi Li Chen meminta pindah dari rumah itu kepada Pak Galib.
Lalu Pak Galib menyuruh beberapa orang karyawannya untuk tinggal di rumah tersebut. Tapi dari beberapa orang karyawan Pak Galin yang pernah tinggal disana, yang masih betah hanya Joni dan Agus. Dan kini rumah itu hanya dijaga dan dirawat oleh Mak Karti. Mak Karti adalah wanita tua dari Solo yang telah lama bekerja pada Bu Li Chen. Setelah Pak Galib berusaha membujuk Nurcahyo, akhirnya pemuda itu setuju.
“Baiklah, Cahyo! Kalau kamu memang setuju, biar nanti Joni yang jemput kamu dirumah Sadrun. “Demikian kata Pak Galib dengan ramah.
Malam itu, sehabis Magrib, Joni datang menjemput Nurcahyo. Mereka berdua dan Sadrun diantar Joni ke Meranti Ilir. Rupanya malam itu Sadrun ingin mengantar adik sepupunya pindah ke rumah Pak Galib. Sesampainya disana, pintu pagar langsung dibuka ketika Joni membunyikan klakson mobilnya. Mereka kemudian masuk kedalam rumah besar dan mewah itu.
Rumah Pak Galib yang berada di kawasan Meranti Ilir itu memang mewah. Hanya sayangnya, rumah ini ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Menurut Mak Karti, semenjak kematian Kinanti, Pak Galib tidak pernah lagi datang ke rumah itu. Suasana malam dirumah itu memang agak menyeramkan. Untung saja malam itu Nurcahyo ditemani Sadrun, sehingga rasa takutnya agak sedikit berkurang. Tapi walaupun demikian, bulu kuduknya sempat berdiri begitu juga dengan Sadrun. Walau bagaimanapun rasa takut itu menyerang, tapi saat kantuk yang berat menyerang akhirnya mereka tertidur juga.
Setengah tahun telah berlalu, Nurcahyo menempati rumah Pak Galib, pemuda berbadan cukup berisi itu terkadang membantu Mak Karti membersihkan dan merawat rumah itu. Sampai pada suatu malam Jum’at Kliwon tepat tanggal lima belas bulan Hapit pada penanggalan Jawa. Dirumah yang besar itu hanya Nurcahyo dan Mak Karti saja, Joni sudah empat hari pergi mengatar Pak Galib dan kedua istrinya pergi keluar kota.
Udara malam itu begitu dingin menusuk tulang. Bau asap hio dari altar sembahyang Mak Karti menambah seramnya suasana malam itu. Nurcahyo berkali-kalia mencoba memejamkan matanya. Namun, ia tak berhasil, bahkan rasa takut mulai membayanginya.
Sekitar pukul 01.00, suasana mendadak berubah. Udara malam yang semula terasa dingin kini menjadi pengap. Perasaan Nurcahyo jadi tidak karuan, ia mempunyai firasat akan terjadi sesuatu pada dirinya. Lalu ia bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil sabuk pemberian Pak Harun, gurunya. Nurcahyo dengan sisa keberaniannya, keluar dari kamarnya menuju kran air dekat pintu kamar untuk berwudhu. Setelah itu sabuk tersebut dikenakannya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara tiupan angin yang sangat keras, disamping itu juga pintu kamar Nurcahyo seperti dilempar batu. Menghadapi suasana yang demikian seramnya, Nurcahyo mengambil sikap duduk bersila menghadap kiblat sambil berkonsentrasi membaca doa-doa tolak bala yang pernah diajarkan gurunya. Tiba-riba terdengar suara ledakan dahsyat dari atas atap rumah itu. Bersamaan dengan itu, muncul dua sosok bayangan mendekati Nurcahyo, Tapi anehnya, ketika tinggal beberapa langkah mendekati Nurcahyo, kedua sosok itu terpental hebat dan jatuh kebelakang. Kedua sosok itu berwujud kera besar. Bulu-bulunya sangat lebat, taringnya terlihat begitu menyeramkan.
Berkali-kali kera itu menyerang Nurcahyo dengan buasnya. Akhirnya salah satu dari kera itu berhasil mendakati dan mencekik leher Nurcahyo. Nurcahyo berusaha memberontak dan berteriak minta tolong pada Mak Karti.
“Tolooong...! Tolooong... saya, Mak!!”
Dan tak lama pintu kamar Nurcahyo didobrak dari luar. Lalu masuklah Mak Karti kedalam kamar Nurcahyo sambil mengacungkan pedang kayu pusaka miliknya.
Belum sempat memukulkan pedang kayunya kearah kera yang tengah mencekik Nurcahyo, mendadak kera itu melepaskan cengkraman nya dan berbalik menyerang Mak Karti.
Mendapat kesempatan seperti itu, Nurcahyo kemudian merapal Aji Pukulan Geni Sedhogranang, lalu ia melompat memukul kera yang satunya lagi. Pukulan Nurcahyo, cukup telak mengenai kepala kera itu, kera itu mengerang keras dan menghilang secara gaib. Melihat temannya berhasil ditaklukkan Nurcahyo, kera besar itu semakin membabi buta dalam menyerang Mak Karti. Melihat keadaan Mak Karti yang kian terjepit, Nurcahyo kemudian menyerang kera besar saat yang saat itu tengah mencekik Mak Karti dengan pukulan Geni Sedhogranang. Namun kera besar itu hanya meringis, pukulan Nurcahyo tidak berarti apa-apa.
Dalam keadaan yang demikian, Nurcahyo sudah pasrah kepada Allah, karena hanya kekuatan Allah SWT saja yang bisa menolong dan menyelamatkannya. Lalu ia mencoba membaca doa Hidhzib Nawawi dan memohon kepada Allah dengan bahasa Jawa.
“Ya Allah, kalo nyuwun pitulungan Panjenengan, supados Panjenengan sirnaaken angkoro murko ingkang ngadhang kawolo Gusti. (Ya Allah, saya memohon pertolongan Mu, adar Engkau berkenan membasmi angkara murka yang mengancam jiwa hambaMu ini).”
Entah apa yang terjadi, dari dada Nurcahyo keluar sinar putih berkilau. Kera besar itu seperti ketakutan, lalu dalam sekejap saja menghilang. Sedangkan Mak Karti menyesali kejadian tadi. Dengan nafas yang masih tersenggal-senggal, ia berterus-terang pada Nurcahyo, bahwa kera-kera yang datang itu adalah kera siluman dari Pulau Waru yang hendak mengambil tumbal, dan yang telah disiapkan sebagai tumbal adalah Nurcahyo.
Akan tetapi, karena Tuhan berkehendak lain, maka Nurcahyo masih bisa selamat. Dan sudah bisa dipastikan yang akhirnya menjadi korban adalah si pemilik persugihan itu sendiri, yaitu Pak Galib sendiri. Keesokan harinya, melalui telepon, Bu Mega mengabarkan bahwa Pak Galib telah meninggal dunia secara mendadak dengan mengenaskan di Labosoka.
Dari kisah ini, dapat kita ambil pelajaran berharga, bahwa sesuatu yang tidak diridhoi oleh Tuhan, pasti akan membawa akibat buruk sekali seperti dalam pepatah Jawa: “Bicik ketitihik, ala kithara.” (Semua nama pelaku dalam kisah diatas telah disamarkan, kecuali nama tempat. Abdul Wahab mengirimkan tulisan hanya kepada Majalah Misteri).
Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
>