ARWAH SUAMI
DI GOA KERAMAT
Oleh : Yudhistira Manaf
Alam disekitarku gelap. Aku masuk kesebuah ruangan yang nyaris hampa udara. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Tanpa ada warna dan tanpa bebauan bunga. Wilayah itu masih aku kenali. Daerah Parang Kusumo, Parang Tritis, Yogyakarta Selatan. Goa? Ya, sebuah goa yang sangat dalam dan terjal. Tapi aku harus masuk di kedalaman goa itu. Walau, tanpa pembimbing dan tanda juru kunci menemani.
Tuhan, hanya kepada Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa aku berlindung. Meminta keselamatan dan petunjukNya. Pada goa keramat, sesuatu goa yang wingit, tempat para penganut supramistika bersemedi. Daerah yang bukan asing walau terasa asing bagiku. Ya, daerah yang bukan baru aku kenal dan sangat lama aku kenal. Goa Keramat, Goa Parang Endok, Doa Parang Kusumo dan banyak nama lagi. Namun hanya satu inilah, goa paling angker sejagat. Goa yang dihuni banyak demit, hantu, wewe gombel dan kuntilanak. Tapi, semua kengerian itu harus aku halau dan aku harus mendapatkan apa yang aku cari di daerah itu.
Dulu, ketika aku kuliah di Akademi Keuangan dan Bank, AKB Timoho, Yogyakarta, aku pernah jalan dengan kekasihku kesini. Kini kekasihku itu menjadi suamiku dan setahun lalu meninggal karena kecelakaan pesawat Scuba Air di Chili, Amerika Selatan. Kami tidak memiliki anak maka itu aku dikenal sebagai janda tanpa anak. Istilah janda tunggal.
Mengapa aku datang dan masuk ke goa angker ini? Panjang ceritanya. Sebaiknya aku ceritakan dulu tentang Abdul Gani Umar, suamiku. Pada tanggal 12 Mei 1979 hari Jum’at, kami main ke Parang Tritis. Sebagaimana diketahui, daerah pantai selatan ini menjadi tempat kesukaan mahasiswa berpacaran. Menikmati laut, main ombak, mengolah pasir di pinggir pantai. Tetapi, kami berbeda kala itu. Kami tidak ke pantai Parang Tritis, tapi ke goa angker yang konon banyak hantunya.
Kala itu saya ketakutan. Goa ini berada di tengah hutan sepi. Jauh dari kampung dan penduduk. Aku dan Mas Gani Umar, kakak kelasku, mencoba mendekati goa. Kala itu senja merangkak petang. Matahari sudah menuju sunset, akan tenggelam di ufuk barat. Goa itu berada di atas Bukit Karang, kurang lebih delapan ratus meter dari Parang Teritis. Matahari kelihatan memerah dan burung laut hilir mudik diatas kepala kami.
Pada saat itu, kami dikejutkan oleh bayangan gelap dibalik pohon tua. Pohon Mahoni umur ratusan tahun. Bayangan itu mengintip dibalik pohon dan mirip kepala manusia namun tanpa kaki.
“Apaan itu Mas?” teriakku, sambil berpegangan tangan dengan Mas Abdul Gani Umar.
“Ya, mungkin makhluk gaib penghuni mulut goa ini,” desis Mas Abdul Gani Umar, sambil memeluk bahuku.
Karana takut yang teramat sangat, aku memeluk erat Mas Abdul Gani Umar. Sementara wajah misterius itu menghilang dikedalaman hutan belukar bawah mahoni.
“Cepat Mas, kita pulang aja. Saya takut!” pintaku,dengan bibir gemetar.
“Ayo, buruan, kita pulang,”kata Mas Abdul Gani umar, sambil membalikkan badan. Dan kami berlari kencang menuju mobil kami yang terpakir dua ratus meter di lereng bukit.
Mobil segera dinyalakan mesin dan mogok. Mas Gani segera membuka kap mesin dan mencari sumber masalah. Ternyata selang kalbulator terlepas, bensin tumpah dan berbau tajam.
“Lha, siapa yang melepaskan selang bensin ke kalbulator ini?” Pekik Mas Gani .
Aku yang melepasnya, mau apa kalian?” Teriak kepala yang kami lihat di balik pohon mahoni tadi. Kepala dengan mata sebesar bola bolong dan empat gigi taring di mulutnya.
“Allahhu Akbar,” kataku. Mas Gani segera menutup kap mesin dan menstater mobil. Alhamdulillah mesin menyala dan mobil mundul lalu maju berlari. Tetapi, kami tidak tau lagi kemana kepala misterius itu. Mungkinkah dia kembali kehutan, atau jangan-jangan ada dibelakang Toyota kijang yang kami naiki. Aku segera melihat jok belakang, Syukurlah dia tidak ada disitu.
Mobil berlari menuju imogiri kemudian melesat ke Yogyakarta. Sesampainya di Jalan Brigjen Katamso, THR, mesin mobil mati lagi. Mogok lagi dan ditepikan ke sebuah took boneka. Aku mendekati penjaga toko dan meminta maaf numpang parker sebentar mau membetukkan mobil kami yang mogok. Penjaga memperbolehkan dan dengan ramah dia malah mendekati mobil. Dia nampak mengerti mobil dan tau kerusakaan yang sedang dihadapi. Maka itu, pada saat Mas Gani membuka kap mesin, dia ikut memperhatikan.
“Lha itu ada selang bensin yang terbuka, bensinnya ngucur tuh?” Desisnya. Selang kembali dimasukkan oleh Mas Gani dan pria penjaga toko boneka itu berteriak.
“Itu dibawah mesin ada kepala, siapa itu, Makhluk apa itu?” teriaknya. Kala itu jam ditangan menunjuk angka Sembilan malam dan toko boneka itu akan segera ditutup.
“Itu boneka kami, pernah ada di toko ini dan sudah lama menghilang,” teriak lelaki penjaga toko yang ternyata bernama Harjiman. Warga Ngasem dekat keraton yang memahami dunia supranatural.
“Hai, kemana saja kamu menghilang, ayo, kembali ke toko!” perintahnya, kepada boneka kepala tanpa badan itu. Kepala menyeramkan itu ternyata boneka milik toko tempat Hardiman bekerja. Toko boneka bernama Lolipop.
“Tapi wajah ini kami temukan di goa Parang Triris. Dia mengikuti mobil kami. Dia tadi bisa bersuara keras dan bergerak memainkan mata dan mulutnya yang bertaring,“ kataku. Dengan santai Harjiman memungut boneka kepala itu dan memasukkannya ke dalam tokonya.
“Lha, ini bukan boneka biasa Mas, itu boneka hantu!” sorongku.
“Iya, saya tahu ini bukan boneka biasa. Dia piaraanku ditoko ini dan ternyata lari ke Parang Tritis. Untung kalian menemukannya dan dia ikut kalian. Pas mogoknya didepan toko saya lagi,” ungkap Harjiman.
Hidup ini ternyata penuh misteri. Ada begitu banyak sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dan diucapkan dengan kata-kata. Senja itu, kami bertemu hantu. Hantu itu ternyata sebuah boneka jelmaan yang hidup. Yang menjadi hantu di sekitar keramat Parang Tritis.
Mesin distarter dan hidup lagi. Kami pamit kepada Harjiman dan meninggalkan boneka gaib itu. Kami melaju ke Gampingan MG Tiga dan mobil masuk ke garasiku. Sebuah rumah kontrakan milik Pak Sumarno dan saya sewa untuk tiga tahun. Mas Gani tidak jauh dari rumahku.
Dia tinggal di serangan, seberang jalan, dekat pabrik Anim. PLN, yang menyetirkan mobilku bila kami berpergian. Aku sangat pandai menyetir, tapi aku meminta pria yang menyetir, bukan wanita seperti aku. Apalagi mobil pemberian ayahku ini kijang minibus, bukan sedan. Aku inginkan sedan, tapi ibuku tak memberikan sedan itu. Sedan ternyata kesukaan ibu untuk jalan-jalan di Jakarta dan ibuku juga pandai menyetir.
Sebagai anak perantau, aku berusaha berbaik-baik dengan semua tetangga. Dampaknya, tetangga semua baik kepadaku. Mereka selalu membantu aku bila aku kesulitan. Apalagi Mas Gani, kakak kelasku, sangat memperhatikan semua kebutuhan dan kesulitan hingga kami berpacaran.
Setelah lulus akademi, aku melanjutkan kuliah strata satu di Jakarta. Mas Gani kembali ke Palembang, kampung halamannya. Namun, Allah sudah menentukan kami berjodoh. Pada tahun 1991 kami bertemu lagi disaat kami sudah bekerja. Aku bekerja di sebuah bank Amerika Serikat di Jakarta sedangkan Mas Gani membuka Bank Pasar di daerah Pasar Enambelas di Palembang kota. Bank miliknya itu tidak jauh dari jembatan Ampera di tepi Sungai Musi. Mas Abdul Gani Umar dengan berani dan jantan melamar aku ke orang tuaku. Dia datang kerumah kami di Cempaka Putih, Jakarta Timur. Ayahku senang mendengar lamaran itu dan ayahku meminta aku menjawab, menerima atau tidak lamaran itu. Aku terdiam sejenak. Aku berfikir beberapa saat, lalu berkata menerima.
“Iya Pa, aku menerima, “kataku.
Papa menatap tajam kepada Mas Abdul Gani Umar dan meminta agar keluarganya datang resmi melamar.
“Kita butuh bertemu antar keluarga biar saling mengenal sebelum dilakukan ijab kobul,” pinta ayahku. Mas Abdul Gani Umar mengangguk cepat dan mengatur pertemuan antar keluarga itu. Kami pun saling menerima dan memberi, lalu melakukan ijab kobul dan resepsi di hall Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.
Mungkin sudah menjadi kodratku dengan peranakan, maka aku tidak dapat anak dengan Mas Abdul Gani Umar. Kami berobat kemana-mana namun aku tidak mengandung juga. Hingga akhirnya, suamiku tewas dalam perjalanan dari Chili ke Peru, saat melakukan study Bank Pasar di Amerika Selatan. Pesawat Scuba Air yang ditumpanginya menabrak bukit Pegunungan Andes dan semua penumpang tewas, termasuk Mas Abdul Gani Umar suamiku.
Kini aku hidup sendiri di JakartaTimur. Namun, aku masih bekerja dan terus bekerja untuk kehidupanku sendiri. Rasa rindu, rasa cinta, rasa kasihku kepada almarhum, hingga kini tidak lekang. Tidak luntur karena hujan dan tidak kering karena panas. Aku selalu mengirim doa untuknya. Aku sering datang kepemakamannya di Candiwalang, Palembang untuk berziarah. Aku selalu berbicara di makamnya, seakan aku sedang berbicara dengannya. Anehnya, aku juga seperti mendengar pembicaraan darinya. Pesannya, kata cintanya, kata sayangnya kepada ku. Suaranya, persis suaranya ketika hidup. Mengiang di telingaku dan meresapinya.
“Bila Adinda Maya Sagita mau bertemu Kangmas, datanglah ke goa Parang Tritis, jangan takut, Kangmas akan maujud di sana dan kita bias berinteraksi, “desisnya, merayap ke saringan telingaku.
Mulanya aku ragu-ragu. Apa iya sih? Namun setiap kali aku datang ke pamakaman Candiwalang Palembang itu, Kangmas selalu meminta begitu, terus menerus ke telingaku. Di Yogyakarta, orang manapun biasa dipanggil Mas, bukan Abang. Batakpun, dipanggil Mas, bukan abang. Maka itu, aku biasa memanggil Mas kepada suamiku yang orang Palembang. Orang Palembang yang sudah menjadi Jawa karena tutur bahasanya lembut dan orangnya begitu halus.
“Iya Mas, aku akan coba bila aku mengambil cuti panjang, nanti,” janjiku.
Begitu aku libur panjang, cuti tahunan, aku terbang ke Yogyakarta. Aku berangkat dengan pesawat Lion Air dari Bandara Soekarno-Hatta dan turun di bandara Ad Sucipto, Sleman, Yogyakarta.
Dari Sleman aku naik taksi non argo, taksi plat hitam melewati jalan Solo menuju laut selatan. Setelah melintas di Bausasran, mobil masuk ke Nyutran terus ke Kota Gede, Imogiri dan menuju Parang Tritis di pantai Samudera Hindia. Sopir mobil taksi yang asli Yogyakarta itu, Kelik Janoe, sangat hafal jalan terjal ke goa dan mengantarkan aku ke goa yang disebut Goa Parang Edok.
“Hati-hati Mbak, daerah ini angker dan berbahaya. Apa perlu saya temani masuk goa itu?” Tanya Keli Janoe kepadaku.
“Tidak usah Pak Kelik, aku bias sendiri, tolong awasi saja dari jauh,” pintaku.
Dengan tertatih-tatih aku mendekati goa. Keadaan tetap seperti beberapa puluh tahun lalu. Sepi dan sunyi. Dengan membaca basmallah dan doa-doa khusus, aku melangkah ke mulut goa dan masuk ke dalamnya. Keadaan sangat pekat. Tidak ada suara, tidak ada cahaya dan tidak ada warna. Berbaupun, tidak ada disitu. Sementara oksigen terasa sangat tipis. Nyaris tanpa udara.
Beberapa saat kemudian aku merasa tubuhku semakin dalam kepada goa. Aku meraba-raba dalam gelap. Namun, keajaiban datang, dimana aku merasa didalam goa itu menjadi sangat terang benderang. Serasa ada sinar matahari yang masuk. Padahal daerah itu seribu persen gelap gulita. Sunyi senyap dan lengang.
“Tuhanku, aku ingin bertemu dengan suamiku disini. Bukan dalam keadaan sebagai mayat, tetapi sebagai suamiku yang utuh tatkala kami masih berpacaran,” pintaku, sekaligus doa menghiba kepada Allah Azza Wajalla. Doaku didengar dan dikabulkan Allah Yang Agung.
Tiba-tiba aku seperti berada dalam keratin. Didalam istana kerajaan yang mega. Ada setting sofa yang anggun, ada Kristal dan batu mulia yang mengelilingi istana kerajaan itu. Aku melihat seorang pria tampan diatas singgasana kerajaan dan aku mendekati. Oh Tuhan, Raja bermahkota emas itu ternyata suamiku. Mas Abdul Gani Umar yang ganteng, atletis dan jangkung. Pria asal Palembang yang paling tampan se kota itu dan terbaik tabiatnya. Dia berdiri dengan gagah dan mendekatiku. Dia memelukku lalu kami melepaskan kerinduan dengan hangat. Terima kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan aku dengan suamiku dan aku sangat mencintainya.
Setelah itu kami terus bersama didalam istana itu. Istana tanpa permaisuri. Dan kata suamiku, akulah permaisurinya itu.
“Kita akan tetap bersama bila engkau siap pindah kealam lain. Siap untuk bersama selamanya?” Tanya Mas Abdul Gani Umar kepadaku.
Aku berkeyakinan, bahwa bila aku berkata iya, maka aku akan masuk kealam gaib itu dan tidak kembali lagi ke dunia selamanya. Tersesat di alam jin dan tak punya kunci apapun untuk membuka pintu kembali ke dunia nyata. Aku memeluk suamiku dan berkata, tidak. Aku berjanji pada saat liburan panjang aku akan datang lagi dan bertemu dengannya di goa itu. Tapi, aku masih mau hidup di dunia nyata, bersama ayah dan ibuku di Jakarta. Aku masih makan nasi dan masih ingin bersama sanak saudara dan keluarga besar serta teman-teman kerja di Bank Amerika. Suamiku mempersilahkan aku kembali ke dunia nyata dan dia tidak keberatan.
“Bila engkau cuti panjang, datanglah ke sini dan Kangmas selalu disini,” katanya. Sebelum aku menutup mata untuk ke luar pintu goa, Mas Abdul Gani Umar membawa aku ke ruang sebelah.
“Aku akan memperlihatkan sesuatu kepadamu. Ayo kita ke ruang sebelah,”ajaknya. Duh Gusti, disana aku melihat Harjiman dengan pedang dan tombak Trisula. Sebelah Harjiman boneka yang kuyakini hantu kepala tanpa badan yang kami temukan dulu di bawah pohon mahoni sebelah bibir goa. Hantu kepala yang angker yang mengikuti kami ke Yogyakarta dari Parang Tritis saat kami masih pacaran. Hantu kepala yang memutuskan selang bensin dan bensin kami terkuras nyaris habis. Hari itu, saya melihat Harjiman dan menjabat tangannya. Melihat hantu kepala, boneka Harjiman yang gaib, yang mencium tanganku.
“Dia menjadi pembantuku di kerajaan ini,” kata Mas Abdul Gani Umar, sambil menarikku keluar kerajaan.
Beberapa saat setelah itu, Mas Gani mencium keningku dan mengucapkan selamat jalan. Aku memejamkan mata dan dalam hitungan detik, aku sudah berada dibibir goa menjelang matahari tenggelam. Aku segera melangkah manjauh dari goa dan pak Kelik Janoe berdiri menyambut aku. Mobil taksi plat hitam itu merangsek pergi dan kami kembali ke Yogyakarta. Aku segera kebandara dan terbang dengan penerbangan terakhir ke Jakarta.
(Kisah Maya Sagita. Yudhistira Manaf menulis cerita itu untuk Majalah Misteri).
Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
>