Ajian Menghilang

AJIAN MENGHILANG
Oleh : Putra Dewa
Dalam beberapa  peristiwa yang teramat menegangkan akibat situasi sudah benar-benar kritis dan tak terkendali, namun, ia bahkan selalu berhasil lolos dari maut yang nyaris merenggutnya…

Harun, 43 tahun, demikian sapaan akrab sahabat Misteri, sekarang  mukim bersama keluarga kecilnya di bilangan Depok, Jawa Barat. Wataknya tak jua berubah, ia selalu riang dan penuh canda. Motto hidupnya seolah tak pernah berubah; mengalirlah seperti air… maka, dunia pun  akan terasa indah. Berbilang waktu kami tak pernah bertemu. Reuni akbar, ternyata mampu menyatukan kami yang telah berserak dan disungkupi dengan kesibukan dan tanggung jawab masing-masing, dalam kesatuan yang utuh. Ya .. pada reuni akbar beberapa minggu lalu, Misteri kembali berjumpa dengan Harun. Dan tak terasa, kami sudah berpisah sekitar 10 tahun.

“Putra… ternyata engkau tetap setia dengan pekerjaanmu,” demikian kata Harun ketika melihat Misteri.
“Ah … maklum, tak ada lagi tempat bagi orang-orang macam aku,” kataku.
“Apa kabarmu, dan bagaimana dengan keluargamu?” sambungku sambil menjabat tangannya.
“Biasa, istri dan kedua anak sehat. Dan bagaimana keadaanmu?” Sahut Harun balik bertanya.
“Sama,” jawabku dengan penuh semangat.

Kami sengaja mengambil tempat di sudut, dengan harapan agar kerinduan yang selama ini menggumpal dapat tersalur tanpa gangguan. Baru saja duduk, terdengar dari sebelah sana teriakan keras dari Firman; “Harun, Putra, ternyata kalian telah datang lebih dulu.”
“Ayo kesini,” sambut Harun.
“Mana yang lain?” Potongku cepat.

Tak sampai sepuluh menit, sudut ruangan yang semula sepi, kini semakin ramai. Begitulah, jika ada Harun, maka, pasti banyak teman yang mengerumuninya. Maklum, selain ingin mendengar kelakar segarnya, Harun juga dikenal sebagai sosok yang cerdas, serta kaya dengan ide-ide brilian.
Usai mendengarkan beberapa sambutan dan uraian tentang kegiatan dan kemajuan yang telah dicapai oleh kampus, maka, kami pun sengaja mengambil tempat di luar agar bisa merokok. Untuk hal itu, Harun pun langsung berkata; “Ayo… rombongan al-hisap keluar, agar tidak mengganggu yang lain.”
“Yang telah meninggalkan dunia hitam juga harus ikut,” tambahnya.
“Maksudnya?” Tanya Firman.
Harun langsung menunjukan beberapa sahabat yang rambutnya telah dipenuhi dengan uban. Sontak, yang lain tertawa melihat ulahnya.
“Harun ternyata belum juga berubah,” demikian komentar Ala, yang waktu gadis dikenal sebagai pemanjat  tebing yang andal.

Setibnya diluar, mata Harun masih nyalang memperhatikan para alumni yang datang terlambat akibat terjebak kemacetan Jakarta.
“Pradanu … kok belum kelihatan?” Gumamnya.
Yang lain sontak menimpali, “Biasa rapat..!”
“Hah… masih rapat, memang gak bosen,” gerutu Harun sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian, Pradanu yang ditunggu pun datang berama dengan sahabat kentalnya, Zabar. Keduanya memang dikenal sebagai dwi tunggal. Boleh dikata, jika disana ada Pradanu, maka, Zabar pasti ada didekatnya. Begitu juga sebaliknya.
“Harun,” teriak Pradanu sambil memluk tubuh sahabatnya dengan hangat, “Manusia yang penuh dengan keberuntungan,” tambahnya lagi.
“Benar,” timbal Zabar dengan penuh semangat.
“Makanya, jadi manusia harus taat dalam menjalankan segala perintah dan menjauhi semua larangan-Nya,” jawab Harun sekenanya.
Dengan berapi-api, Pradanu menceritakan suatu peristiwa ketika mereka masih menjadi aktivis di kampus. Dalam suatu rapat perencanaan demo di sekretariat, tak ada yang pernah menyangka, jika tempat tersebut sudah jauh-jauh hari diawasi oleh beberapa petugas yang menyamar sebagai pedagang rokok. Ketika perwakilan dari kampus lain dan rapat hendak dimulai, maka, para petugas pun langsung masuk. Taka da yang bisa berkutik, semuanya hanya pasrah. Maklum, sekretariat tersebut sudah terkepung dengan sedemikian ketat.

Satu per satu, semua yang ada di sekretariat digiring dan dinaikkan ke mobil. Anehnya, Harun yang sejak awal berdiri di sebelah kiri pemimpin rapat, tak sekalipun ditergur atau disentuh oleh petugas. Harun pun selamat.
“Ah itu Cuma kebetulan, “katanya sambil terkekeh, “Siapa yang waktu itu melihat mukanya Zabar. Lebih putih dari cat tembok itu, “sambungnya lagi.
Zabar langsung tertawa kecut sambil berkilah, “Maklum, baru sekali itu aku digiring sama petugas.”
Firman yang juga tertawa, langsung menambahkan, “Ah… aku ingat. Waktu kita ribut sama anak Teknik, Harun juga selamat. Padahal, waktu itu, ia ada di tengah-tengah mereka. Harusnya, waktu itu, Harun sudah dihajar habis oleh mereka.”
Sungguh tak terbayangkan, seperti biasa, hanya karena saling ejek ketika pertandingan sepak bola antar fakultas, Fakultas Teknik yang waktu itu kebetulan kalah, langsung bermain kasar. Beberapa pemain terpaksa diangkut ke pinggir akibat cedera. Akibatnya, tiga pemain Fakultas Teknik terkena kartu merah.
Tak puas dengan hukuman dari wasit yang mereka anggap berat sebelah, maka, batu dan botol air mineral pun langsung berterbangan ke tengah- tengah lapangan. Firman langsung berteriak agar teman-temannya mundur dan berlindung. Tetapi apa daya, Harun yang waktu itu sedang berada ditengah–tengah lapangan, tak bisa bergerak kemana pun. Sementara lapangan sepak bola sudah dipenuhi oleh puluhan anak-anak Fakultas Teknik sembil membawa kayu dan batu. Anehnya, semua anak–anak Fakultas Teknik seolah tak ada yang melihatnya. Semua mengejar lawan mainnya sampai ke Gedung Rektorat. Sementara, Harun dengan tenang dan tetap tersenyum, berjalan menjauhi lapangan.

Keadaan baru benar-benar tenang ketika pihak rektorat dan keamanan kampus dibantu oleh mahasiswa yang lain berhasil mengajak anak-anak Fakultas Teknik berdialog.
“Ketika semua satu almamater, berarti semuanya adalah saudara. Mara kita selesaikan persoalan ini dengan kepala dingin,” demikian kata Purek III sambil terus tersenyum.
Semua pihak yang terkait akhirnya sepakat untuk menandatangani perjanjian damai, dan tak bakal mengulangi hal serupa dimasa depan.

Cerita Firman yang panjang lebar membuat semuanya terkesiap, mereka baru sadar, waktu itu Harun benar-benar lolos dari lubang jarum, “Kalau kebetulan sampai beberapa kali, pasti ada apa-apanya.” Demikian komentar Ala menimpali cerita Firman yang demikian semangat.
“Ya… ya… ya”, ujar yang lain dengan nada sengit. Suasana pun kian hangat. Semuanya menumpahkan kekesalan dan kekaguman karena Harun yang selalu lolos dari berbagai peristiwa yang menegangkan itu. Akhirnya dengan lirih, Harun pun berkata; “Jujur, tiap mau berangkat atau keluar rumah, aku selalu mengucapkan doa yang diajarkan oleh nenek.”
“Maksudnya?” Potong Ala.
“Kata nenek, buat keselamatan, Biar yang bermaksud tidak baik, tidak bisa melihat keberadaan kita,” sahut Harun.
“Serius? “desakku.
“Wartawan mulai usil,” sergah yang lain bersamaan.
Putra tersenyum, wajahnya memerah. Tak lama kemudian, terdengar kembali suara Harun; “Serius, dan mantra itu bias dibuktikan. Syaratnya adalah, kita harus menjalankan segala perintah-Nya dengan tepat waktu dan menjauhi segala larangan-NYa. Selain itu banyak-banyak lah bersedekah, khususnya pada anak-anak yatim, yatim piatu atau pun mereka yang sudah jompo.”
“Amalannya pasti panjang,”Potongyang lain serempak.
“Tidak mungkin, kalian bias hapal begitu aku ucapkan,” sambung Harun mantap.
“Kun Allah
Melingkun Allah
Nang melindungi Allah.”
“Baca tepat ditengah pintu, ketika kita hendak berpergian. Selagi kita tidak berlaku takabur, sombong dan yang sejenisnya, Insya Allah, Allah akan melindungi kita,” lanjutnya lagi. Semua yang ada langsung aja mencatat. Dalam hati mereka ingin dapat selalu terhindar dari marabahaya sebagaimana sahabatnya, Harun.

Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor -

>