PESAN DARI LELAKI KORBAN PEMBUNUHAN
Oleh : TulankSeiring dengan tengelamnya mentari di ufuk barat, dimulai dengan sapuan angin yang membuat rumpun bambu ini saling bergesekan, maka, tangisan malang korban pembunuhan itupun terdengar menyayat ...
Saya mukim di sudut selatan belantara Jakarta. Yah ... rumah munggil dengan cicilan yang terjangkau, kini, menjadi tempat berlindung keluarga dari teriknya panas dan dinginnya hujan.
Walau untuk masuk kompleks perumahan harus melalui komplek pemakaman umum, namun, perumahan itu tetap menjadi incaran banyak orang. Maklum, dekat dengan kawasan Bintaro, serta Vumi Serpong Damai. Suatu kawasan elit yang terus berkembang. Selain itu, tak jauh dari pintu gerbang perumahan, terdapat sungai yang tak seberapa lebar.
Karena warga sepakat tiap dua bulan membersihnya, maka, jadilah sungai yang berada di depan perumahan kami sebagai tempat atau sarana umum yang tiap sore dipakai untuk duduk–duduk atau bercengkrama. Tumbuhan bunga dan beberapa batang pohon jambu air dan mangga,serta tempat duduk dari batu, membuat suasana makin bertambah nyaman.
Namun, ketenangan mulai terusik.
Menjelang sore, seorang warnga melihat ada sesosok mayat tersangkut pada tiang penyangga jembatan. Suasana pun heboh. Pihak kepolisian pun sudah datang, setelah melakukan pemeriksaan dan membawa jenazah lelaki muda itu ke rumah sakit untuk menjalankan otopsi --- akhirnya, Mahmud yang selama ini menajadi Ketua Masjid di komplek perumahan kami berkata; ”karena kita yang pertama melihat, jadi kitalah yang bertanggung jawab untuk memakamkan jenazah itu sebagaimana mestinya.”
“Bila pihak kepolisian setuju, kenapa tidak,” balas yang lain.
Akhirnya, esoknya, seisi komplek mengantarkan jenazah yang tidak ke peristirahatannya yang terakhir. Ya ... Jenajah tak dikenal itu dimakamkan di Pemakaman Umum yang ada di depan kompleks. Bahkan, selama tujuh hari, usah mendirikan sholat Isya, di mesjid, diadakan pembacaan Yassin untuk si mati.
Yang membuat Mahmud heran adalah, kenapa tiap hari jemaah yang sholat selalu berkurang? Ketika hal tersebut ditanyakan, kepada tetangga yang kebetulan mukim di sebelah rumahnya, sambil angkat bahu, semuanya hanya beralasan sibuk.
Menjelang hari keempat, ketika sedang berjalan ke arah mesjid, Mahmud merasakan ada sesuatu yang berbeda. Seiring dengan langit yang mulai memerah dan tiupan angin agak keras menerpa rumpun bambu yang tumbuh subur di sudut pemakaman umum, ia mendegar suara yang teramat menyayat; “Ampun... jangan pukul... Ampunnnn.”
Bulu kuduk Mahmud pun meremang. Tetapi sebagai sesosok yang di besarkan di pondok pesantren yang terkenal dibilangan Jawa Timur, Mahmud pun terus berjalan sambil berkata; “Jangan ganggu saya atau yang lain... kalau ada yang ingin dipesankan, sampaikan dengan baik lewat mimpi.”
“Ah... jangan–jangan, jamaah takut ke mesjid karena kejadian ini,” desisnya.
Seperti biasa, usai Maghrib, Mahmud tidak langsung pulang. Bersama dengan beberapa tetangga yang lain, mereka menunggu waktu Isya. Selama menunggu waktu, semuanya hanya asyik menyebut dan mengagungkan asma-Nya.
Usai Isya, seperti biasa, mereka bertujuh membaca Surat Yassin untuk si mati.
Tak ada kejadian apapun. Semua kembali pulang ke rumahnya masing-masiang tanpa gangguan sama sekali.
Di rumah, Mahmud menceritakan apa yang dialaminya kepada Nisa, istrinya. Sang istri hanya tersenyum dan berkata; “Mungkin itu setan yang ingin menganggu Abi, atau, si mayat yang tak dikenal ingin mengatakan sesuatu.”
“Abi sepakat pada kedua. Sebab menurut polisi, manyat itu korban pembunuhan,” jawab Mahmud.
“Kalau sepakat sama yang kedua, menurut Umi, dari pada sampai tujuh hari, genapkan saja pengajiannya sampai empat puluh satu hari. Mudah-mudahan, si mayat tak dikenal itu diampuni segala dosanya, keluarga yang ditinggalkannya ikhlas, dan ia mendapatkan surga yang dijanjikan Allah,” kata Nisa lagi.
Mahmud terperangah. Ia tak menyangka, sang istri telah mengingatkan jika berbuat sesuatu yang baik jangan tanggung-tanggung. Belum lagi sempat berkata-kata, kembali sang istri melanjutkanl; “Kalau yang lain bersedia, nanti Umi sekadar bawakan makanan ringan, teh dan kopi. Lepas Maghrib, biar diambil sama Anwar.”
“Umi gak repot?” Tanya Mahmud.
“Gak ... Itung-itung amal,” jawab Nisa sambil tersenyum.
Mahmud pun segera mengirimkan SMS kepada beberapa orang temannya yang mukim di luar kompleks, serta tetangga yang bersedia untuk melakukan pengajian bersama. Anwar langsung saja mennyahut lewat SMS; “Ustadz, mudah-mudahan, ini merupakan awal yang baik. Masjid kita punya jamaah pengajian. Amin.”
Mahmud yang membaca langsung tersenyum. Ketika istrinya menanyakan kenapa ia tersenyum, Mahmud pun berkata; “Menurut Anwar, mudah-mudahan, hikmah dari kejadian ini adalah kita punya jamaah pengajian.”
“Amin...” kata Nisa sambil menengadahkan tangan dan menyapukan ke wajahnya.
Tiap senja, saat berangkat ke mesjid, Mahmud selalu saja mengalami kejadian yang serupa. Ketika hal itu disampaikan kepada teman-temannya yang pernah mukim di pondok pesantren, jawabnya sama.
“Sebab kalau ia ingin mengganggu, pasti semua yang lewat akan merasakannya,” kata Abdullah, teman Mahmud yang memang paling pandai.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Mahmud.
“Kita khatamkan sampai empat puluh satu malam, mudah-mudahan, semuanya akan berakhir dengan baik. Amin,” demikian kata Abdullah dan diamini oleh semua yang hadir.
Waktu terus berlalau. Gangguan pun makin menjadi–jadi. Anwar bahkan sempat pontang–panting dan hampir saja terjatuh ketika di sepan gerbang mesjid berdiri seorang pemuda berkulit putih dengan badan penuh luka. “Subhanallah... “hanya itu yang keluar dari mulutnya sehingga membuat semua jamaah terperangah dan menghambur ke arahnya.
Setelah meneguk air, Anwar menunjuk pintu ke pintu gerbang masjid. “Ada apa...?” Tanya Ustadz Abdullah.
Anwar pun menceritakan pengalamannya. Ustadz Abdullah pun tersenyum. “Minum dan sisanya untuk membasuh muka. Mudah-mudahan, atas izin Allah, engkau tidak akan diganggu lagi,” katanya. Sambil mengangsurkan segelas air yang sebelumnya sudah diberi doa. Anwarpun meminumnya. Sejak itu, ia memang tak pernah diganggu. Hingga akhirnya, pengajian pun usai. Paginya, Mahmud, Ustadz Abdullah dan Anwar serta beberapa orang lain berziarah ke makam yang masih merah itu.
Usai membaca Surah Yassin dan doa kubur dan menaburkan bunga, Mahmud pun berkata; “Wahai saudaraku, inilah yang dapat aku dan masyarakat kampung ini bisa lakukan. Tenanglah engkau dalam menghadap Rob-mu. Semoga, dosa-dosamu diampuni, keluarga yang engkau tinggalkan ikhlas dan engkau mendapat surga sebagaimana yang dijanjikan-Nya. Amin.”
“Amin, “sambut yang lain.
Malamnya, entah kenapa, sekali ini Mahmud merasakan kantuk yang teramat sangat. Sekembalinya dari mesjid usai mendirikan salat Isya, tanpa makan, ia langsung tertidur dengan nyenyaknya.
Nisa yang melihat suaminya tertidur tak berani mengganggunya. Menurutnya, suaminya tertidur akibat kelelahan.
Dalam tidur, Mahmud bermimpi didatangi seorang pemuda. Ia sempat tersentak, betapa tidak, wajah pemuda yang mendatanginya sama dengan jenazah tak dikenal yang ditemukan warga beberapa waktu yang lalu. Pemuda itu hanya berkata; “Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam, “jawab Mahmud.
“Ustadz, terima kasih, engkau dan seluruh masyarakat kampung ini telah menyempurnakan jasadnya. Terima kasih atas doa tulus kalian. Ustadz tak perlu tahu siapa aku, asal-usulku dan apa penyebab kematianku. Aku takut... jika ustadz tahu dan memberitahu keluargaku, nantinya akan menjadi balas membalas yang tak berkesudahan,” tamnbag pemuda itu lagi, “Wassalamualaikum ustadz, sekali lagi terima kasih,” lanjutnya sambil melambaikan tangan dan menjauh kemudian menghilang.
Mahmud tersentak dan terbangun.
“Subhanallah, ternyata aku bermimpi,” katanya sambil duduk diatas pembaringan.
Nisa, istrinya yang baru saja berbaring disebelahnya langsung bertanya,” Kenapa Bi, mimpi?”
Mahmud langsung mengambil air yang terletak di meja dekat pembaringan. Setelah meminum beberapa teguk, ia pun menceritakan mimpinya. Nisa hanya tersenyum, hatinya langsung saja berdoa; “Ya... Rob, ampunilah dosanya, lapangkanlah kuburnya dan hindari ia dari siksa kubur dan siksa neraka. Amin.”
Sampai sekarang, selain kepada seluruh keluarga dan sahabatnya, tiap berdo’a, Mahmud selalu menyertakan pemuda tak di kenali itu dengan sebutan fulan bin fulan. Dan tak lupa, tiap bulan, dan tiap ada kesempatan, sampai sekarang ia pun selalu menziarahi makam pemuda tak dikenal itu.
Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
>