KEMERIAHAN KIAMAT PITIK

KEMERIAHAN KIAMAT PITIK


Oleh Djoko Judiantoro


Ratusan ayam disembelih kemudian dimasak panggang ayam bucu dan disajikan kepada peara leluhur penduduk desa di pemakaman.

Bulan Ruwah, dalam tradisi adat Jawa dijadikan sebagai bulan penyambung talirasa antara para anak cucu dengan para leluhur yang sudah mati. Pada bulan ini, para anak cucu bayak berziarah ke makam para leluhur, dengan tujuan mendoakan sekaligus mempererat tali silaturahmi tali rasa. Tali silaturahmi juga masih dibutuhkan diantara orang yang sudah mati dengan para anak cucunya. Dikarenakan keutamaan doa para anak cucu sangat dibutuhkan bagi roh leluhur yang sudah mati.

Doa para anak cucu menjadi pengiring perjalanan roh para leluhur di alam pelanggengan, agar roh mereka menuju kesempurnaan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, Olehkarena itu, adat tradisi ini tidak hanya dilakukan dikalangan masyarakat jawa saja, tetapi hampir di seluruh suku yang ada di Indonesia, mereka juga melakukan hal yang sama padasaat memasuki bulan Ruwah. Tradisi ziarah di bulan Ruwah tersebut hingga kini masih terus dilakukan. Di berbagai daerah, tradisi ini dikenal dengan nama sedekah Nasi Rasullan, bersih desa, bersih makam, sedekah para luwur (baca; leluhur) dan lain sebagainya. Tetapi terdapat satu desa yang berada di daerah Lereng Gunung Lawu menyambut tradisi sedekah di makam para leluhur tersebut dengan nama Tradisi Kiamat Pitik.

“Tradisi Kiamat Pitik dilaksanakan pada saat memasuki bulan Ruwah, yang jatuh pada tanggal lima belas jawa,” terang Sutarto, tokoh masyarakat desa babar, Anggrasmanis.

Dijelaskan oleh Sutarta, bagi masyarakat desa sekitar, tanggal lima belas Ruwah terdapat dua penanggalan jawa yang dipakai, yakni penanggalan kalender Leboge dan Asopan. Dua penanggalan dengan perhitungan jawa tersebut satu adalah penanggalan Hindu, sedangkan satunya lagi adalah penangalan Hindu Budha. Keduanya dipakai pedoman bagi masyarakat desa di lereng gunung Lawu. Pada saat menghitung tanggal lima belas ruwah. Disebut dengan Tradisi Kiamat Pitik. Menurut Sutarta, pada malam lima belas Ruwah seluruh penduduk yang ada di dusun Babar akan menyembelih ayam, yang nantinya ayam tersebut dipakai sebagai sesaji persembahan kepada para leluhur mereka.

“Setiap kapala keluarga akan menyembeli ayam. Dalam satu keluarga, bisa menyembelih lebih dari lima ekor. Tergantung seberapa banyak leluhur mereka yang sudah mati,” ujar Sutarta, kepada misteri. Ditambahkan oleh Sutarta, jika seluruh keluarga di Dusun Babar menyembelih ayam pada hari itu, maka total keseluruhaan ayam yang disembeli bisa mencapai ratusan atau bahkan ribuan ekor. Oleh karena itu, maka penduduk desa menyebut tradisi tersebut dengan nama tradisi Kiamat Pitik. (bencana ayam). Tradisi menyembelih ayam ini tidak hanya dilakukan oleh warga dari Dusun Babar, tetapi hampir seluruh desa disepanjang lereng Gunung Lawu yang masih menganut tradisi Jawa semua akan menyembelih ayam pada malam lima belas Ruwah.

“penduduk desa ada yang menyembelih ayam pada pagi hari, namunjuga ada yang dilakukan pada siang hari, Tergantung dari perhitungan kalender apa yang mereka pakai. Karena jeda waktu perhitungan antara Laboge dan Asopan hanya beberapa jam saja,” ujar Sutarta.

“meski jeda waktu hanya beberapa jam saja, tetapi pelaksanaan ziarah kubur biasanya akan dilakukan usai Dzuhur.

Seluruh penduduk Desa Babar siang itu akan memadati tempat pemakaman umum. Tak terkecuali seluruh makam-makam yang ada didusun tetangga, juga akan dipadati para penziarah yang siang itu menghaturkan persembahan sesaji bagi para leluhur mereka. Menurut pengakuan penduduk Desa Babar, sesaji tersebut merupakan bakti masih adanya tali rasa silaturahmi antara para anak cucu dengan leluhur. Ungkapan tersebut tidak hanya manjalin ikatan antara orang yang sudah mati dengan orang yang masih hidup, tetapi juga sebagai ungkapan permohonan wujud rasa syukur penduduk desa kepada Gusti Allah. Ziarah yang dilakukan pada malam lima belas ruwah, sekaligus sebagai ajang ngalap berkah, mohon doa restu kepada para leluhur. Agar di dalam menjalankan kehidupan, para anak cucusenantiasa terus diamping-ampingi (Dijaga dalam setiap langkah kehidupan). Keyakinan ini sudah mengakar sejak ribuan tahun yang silam. Karena bagi masyarakat jawa sendiri. Rasa bakti anak kepada orang tua adalah wujud baktinya kepada Gusti Allah. Tak terkecuali orang tua yang sudah meninggal sekalipun. Karena doa anak cucu menjadi kekuatan langkah para leluhur menapaki alam yang lebih tinggi lagi di alam pelanggengan. Pada saat menggelar ziarah kubur, ada juga para anak cucu yang mengeluarkan uneg-uneg mereka seputar kehidupan yang dijalaninya.

Uneg-uneg  tersebut biasanya seputar keruwetan sulitnya mencari ekonomi, ataupun permasalahan pelik yang tengah membelit di dalam kehidupan rumah tangganya. “Uneg-uneg ini biasanya akan mereka sampaikan usai menggelar doa ziarah kubur,” kata Sutarta.

Bagi penduduk desa, menyampaikan uneg-uneg akan mampu meringankan bebab batin dan pikiran mereka yang tengah dirundung masalah. Sekalipun menjadi sebuah harapan bagi mereka, agar doa yang mereka panjatkan ke hadirat Tuhan pada saat memohonkan ampun dosa para leluhur, akan mendapatkan timbal balasan yang dihadapi akan cepat selesai.

Masih menurt Sutarta, ayam yang disembelih kemudian dimasak dengan cara dipanggang. “Penduduk desa menyebutnya dengan nama panggang ayam bucu,” jelas Sutarta. Jenis ayam yang dipakai u tuk dipanggang  ayam cucu, tidak harus ayam kampong, tetapi ayam apapun bias dipakai untuk sesaji panggang ayam bucu. Bila leluhur mereka yang mati sebanyak lima orang, maka panggang ayam bucu juga harus lima ekor. Usai ayam disembelih, ayam tersebut lantas ditusuk dengan sebilah wilahan bamboo, kemudian dipanggang diatas bara arang atau kayu bakar.

Tata cara memasak panggang ayam bucu juga sangat sederhana sekali, tidak membutuhkan bamboo seperti layaknya panggang ayam di warung-warung. Hanya bawang putih dan garam dicampur dengan air secukupnya yang dipkai untuk bumbu masak ayam bucu. Jika ayam panggang bucu selesai dimasak, kemudian dibungkus  dengan daun pelepah pisang berikut dengan sesaji lainnya.

Kelengkapan sesaji yang dipersembahkan ke makam para leluhur selain ayam panggang bucu, juga akan ditambahi dengan sesaji sekar setaman, srundeng, pisang raja, serta lawuhan kerupuk. Untuk kelengkapan sesaji lawuhan kerupuk, terdiri dari kerupuk merah, ram[ak nasi, dan kerupuk putih. Sesaji ini akan disusun satu baki, dengan panggang ayam dan pisang raja. Sedangkan kelengkapan sesaji makanan ada sayur Lombok ijo, peyek ikan teri, yang digoreng dengan tepung, kemudian ditambah lagi dengan jajan pasar klenikan, yang terdiri dari makanan bumi, seperti kacang, uwi, kentang hitam, dan lainnya. Seluruh rangkaian sesaji yang sudah disiapkan, selanjutnya dibawa kemakam para leluhur usai Dzuhur lalu disajikan kepada leluhur. Setelah itu barulah kemudian dilanjutkan dengan doa wilujengan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dia tersebut menurut Sutarta, menjadi sarana sambung rapet (ikatan) antara para leluhur dengan anak keturunannya. Setelah dilakukan doa, seluruh makanan sesaji lantas dibagi-bagikan kepada wargasekitar yang pada saat itu berada di makam.

Seluruh warga Desa Babar dan Desa lain yang berada di lereng Gunung Lawu, siang hari itu akan melakukan hal sama, dengan apa yang dilakukan oleh penduduk Desa Babar. Ratusan warga masyarakat yang siang itu berada dalamm makam, akan saling menukar sesaji antara satu dengan yang sesaji lainnya. Tak terkecuali mereka yang tidak melakukan upacara sedekah malam lima belas ruwah sekalipun, juga akan mendapatkan bagian dari sessaji ayam panggang bucu.

Bagi sebagian besar kepala keluarga di Dusun Babar yang sudah pernah mantua atau menikahkan anaknya, rangkaian sesaji Kiamat Pitik tidak diperkenankan dibawa ke makam, tetapi disajikan dirumah saja. Anggota keluarga hanya membawa rangkaian bunga dan sekar setaman dari rumah, kemudian ditaburkan dimakam para leluhurnya. Oleh karena itu ada tambahan sesaji yang harus disajikan para leluhurnya. Menurut keyakinan warha masyarakat Dusun Babar, mereka yang sudah pernah mantu akan disajikan kepada para leluhur pada saat roh mereka datang. Tambahan sesaji tersebut, yaitu nas uduk, atau saga golong, kinang suruh ayu, jajan pasar dan tumpeng nasi gurih. Seluruh sesaji dipasrahkan di rumah kepada para leluhur yang sudah meninggal, lengkap dengan sesaji ayam panggang bucu.

“Sesaji Kiamat Pitik dianggap istimewa bagi warga masyarakat Dusun Babar, istimewa karena selalu dilakukan tiap malam lima belas Ruwah sejak ratusan tahun yang silam. Tradisi tersebut menjadi sebuah ikatan tali rasa dengan leluhur yang sudah meninggal, yang diyakini menjadi salah satu cara bagi penduduk desa untuk menyempurnakan roh orang yang sudah mati,” terang Sutarta.

Penyempurnaan roh tidak hanya datang dari doa yang dimohonkan para anak cucu ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan harapan agar arwah para leluhurnya diberi kemulyaan di alam pelanggengan. Tetapi berbagai rangkaian sesaji yang dipersembahkan pada saat menggelar tradisi Kiamat Pitik juga menjadi symbol, nilai-nilai luhur harapan umat manusia kepada Tuhan dan alam semesta.

“Malam pada saat seluruh sesaji disajikan diruma, leluhur merka akandatang berkunjung ke rumah anak keturunannya, “terang Sutarta. Keyakinan seperti ini bukan saja dianut warga dari Desa Babar, tetapi seluruh masyarakat Jawa yang masih ngleluri budaya para leluhur juga masih sangat meyakini hal tersebut. Oleh sebab itu setiap bulan Ruwah menjadi bulan rahmat yang secara khusus diperuntukkan bagi orang yang sudah mati. Setelah bulan Ruwah terewati, maka akan memasuki bulan puasa, yang dimaknai sebagai bulan penuh berkah dan rahmat hidayah. Oleh karena itu, setelah mereka yang hidup memohonkan ampun kepada Tuhan atas kesalahan para leluhurnya, maka tibalah saatnya bagi mereka yang masih hidup meraih berkah rahmat dibulan puasa.

Kedatangan para leluhur dirumah anak keturunannya memang sudah mentradisi di kalangan adat istiadat masyarakat jawa disaat memasuki bulan Ruwah. Kedatangan roh para leluhur biasanya ditandai dengan harum wangi yang sangat disukai para leluhur semasa dirinya masih hidup. Tanda-tanda itu bias berupa asap rokok, bau wewangian pakaian yang disukai semasa dirinya masih hidup, atau baying-bayang sosoknya yang datang berkunjung. Kedatangan para roh leluhur bagi anak keturunannya adalah sebuah silaturahmi rasa yang masih tetap tersambung. Sehingga diyakini tetap menjaga anak keturunannya didalam mengarungi kehidupan didunia.

Menurut kepercayaan masyarakat jawa, para roh leluhur atau sanak keluarga yang tidak diziarahi pada bulan Ruwah, biasanya akan datang berkunjung kerumah meminta agar kuburnya diziarahi. Dengan tanda mengetuk pintu, tetapi pada saat pintu dibuka tak satupun tampak orang yang mengetuk pintu. Irama ketukan pintu juga tidak sama dengan ketukan pintu orang yang tengah bertamu, hanya beberapa ketukan saja kemudian diam.

“Karena tak ingin melupakan para leluhurnya, maka Tradisi Kiamat Pitik sampai saai ini masih tetap terus dipegang teguh oleh penduduk Desa Babar,” kata Sutarta.

Pada kesempatan tersebut, ada juga penduduk yang memanfaatkan momen Tradisi Kiamat Pitik, dipakai untuk membangun kubur para leluhur merka dengan memberinya nisan batu atau nisan keramik. Alasan mereka, apa yang mereka lakukan pada saat itu adalah waktu yang tepat untuk membangun makam, selain usai seribu hari orang yang sudah mati. Membangun nisan makam (kijing), juga menjadi wujud kepedulian para anak cucu kepada para leluhur. Dengan harapan agar tempat kubur mereka tidak hilang rata dengan tanah.

“Apa yang mereka lakukan tak lebih dari rasa kepedulian penduduk desa yang masih tetap ingin kepada para leluhur, meskipun mereka sudah tiada. Karena mereka yakini, bahwa roh mereka masih tetap hidup di alam pelanggengan, yang setiap saat masih terus bias dirasakan kehadirannya”, pungkas Sutarta.


Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor -

>