MENELUSURI PETILASAN KRAMAT ‘ARDILAWET’

MENELUSURI PETILASAN KRAMAT ‘ARDILAWET’


USAI RITUAL, PANTANG MAKAN MASAKAN JANTUNG PISANG

Oleh : Alid


Dari Mantan Presiden RI ke-4 hingga Mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn) Sutanto, Pernah Bermunajat disini. Bagi sebagian masyarakat Pulau Jawa, khususnya yang sering melakukan perjalanan religi ke berbagai tempat keramat, mungkin sudah tidak asing lagi dengan sebuah nama petilasan, yakni Petilasan Ardilawet atau lebih dikenal dengan nama Makam Syekh Jambukarang.


Di tempat ini ada yang menyakini kalau tempat itu merupakan makam dari Syekh Jambukarang. Tapi menurut keterangan beberapa pihak menyatakan kalau tempat keramat itu adalah sebual petilasan di mana Syekh Jambukarang bersemedi. Makam atau petilasan keramat ini diyakini bisa memberikan sawab atau tuah demi sesuatu maksud dan tujuan si pengalap barokah. Sekitar 42Km arah timur laut dari Pusat ibukota pemerintah Kabupaten Purbalingga, Jawa tengah, tepatnya di wilayah Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, terdapat satu perbukitan yang sangat dikeramatkan warga desa itu. Kawasan ini biasa disebut Gunung Ardi Lawet. Salah satu tempat wisata religi yang memiliki ketinggian mencapai 3.850 meter dpl (di atas Permukaan Laut).

Diawali dengan perjalanan darat yang berliku-liku diatas jalan aspal mulus yang menanjak menuju Desa Panusupan, yang keberadaannya disisi timur dari gunung Slamet. Memang dalam perjalanan kali ini diperlukan persiapan alat transportasi atau kendaraan yang maksimal bagi tamu yang membawa kendaraan pribadi agar kuat untuk menanjak dan aman hingga ke perbatasan desa. Selepas itu memasuki sebuah jalan kecil yang diaspal ala kadarnya sepanjang kurang lebih 10 kilo meter untuk menuju rumah juru kunci.

Perjalanan berat ini belumlah berakhir. Sesampainya di rumah Juru Kunci, peziarah masih harus melanjutkan perjalanannya hingga ke Makam Syekh Jambukarang.

Perjalanan ini ditempuh setelah mendapatkan ijin dari sang juru kunci dengan mengutarakan maksud dan tujuannya kedatangan pisoeanannya yang di petilasan keramat Syekh Jambukarang.

Perjalanan menanjak dengan menyusuri jalan setapak sepanjang 5,5 kilometer yang sisi kanan atau kirinya ada jurang menganga, seakan siap menelan siapapun yang melintasinya.

Disini pengunjung harus bisa bertahan hingga mencapai halaman petilasan Makan Syekh Jambukarang, yaitu berupa sebuah rumah kecil berukuran 4 x 6 meter, yang terbuat dari papan dan beratapkan ijuk serta berlantaikan plester semen sederhana.

Konon cerita banyak tamu uang pisowanan, jika orang berdoa bermunajat kepada Allah didalam rumah kecil yang diyakini sebagai makam Syekh Jambukarang, akan terkabul segala hajat yang dimaksudkan.

Selain itu ada keunikan tersendiri. Yaitu sebuah bangunan paseban sederhana yang berbentuk seperti aula dan tidak begitu luas hanya sekitar 7 x 20 meter tersebut, mampu menampung berapapun jumlah penugunjung yang datang untuk berdoa diatas bukit pada malam-malam tertentu.

Ditemui di sela-sela kunjungan tamu yang datang ke rumahnya. Sujadi (48), yang dipercaya sebagai juru Kunci makam Syekh Jambukarang menjelaskan, pada hari-hari tertentu pengunjung atau peziarah yang datang dari berbagai daerah, bisa mencapai minimal 800 orang dalam satu malam. Sedangkan pada malam-malam diluar hari istimewa tersebut, pengunjung bisa mencapai 300 hingga 400 orang.

“Kunjungan melimpah jika memasuki Malam rabu Pon, Malam Kamis Wage, Malam Jum’at Kliwon dam Malam Selasa Wage. Selain itu bulan Sura dan Bulan Ruwah atau sya’ban. Peziarah yang datang tidak hanya dari wilayah Purbalingga dan banyumas saja, tapi banyak juga yang datang dari luar wilayah Provinsi Jawa Tengah,” terang Sujadi, yang menjadi juru kunci sejak tahun 1991.

Masih katanya, rata-rata mereka datang secara berombongan atau berkelompok hingga beberapa orang. Dan pada malam-malam tertentu seperti itu bisa mencapai diatas 800 orang yang lelaku ritual. Anehnya paseban yang hanya berukuran sekitar 7 x 20 meter selalu bisa menampung peziarah yang antri untuk memasuki ruang petilasan keramat Syekh Jambukarang.

Bagi peziarah baru pertama kali mengunjungi Makam Syekh Jambukarang, lanjut dia, selain diperlukan persiapan kendaraan secara baik untuk bisa sampai di desa Panusupan, juaga diperlukan persiapan batin yang sungguh-sungguh agar bisa tercapai apa yang menjadi maksud dan tujuannya.

Disarankan Sujadi, pengunjung jika akan menuju Makam yang terletak di atas Gunung Lawet, atau lebih dikenal dengan nama Ardilawet tersebut, jangan menyombongkan diri bahwa kuat untuk bisa mencapai puncak gunung dan jangan berkata-kata yang kurang sopan. Pasalnya, jika semua itu dilanggar, dikhawatirkan bisa terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki saat dalam pendakian.

“Memang jalan untuk menuju ke makan ayau petilasan selepas pintu gerbang retribusi, akan terus menanjakdan berkelok-kelok. Disarankan untuk tidak usah membawa perbekalan pendakian yang berlebihan, cukup bawa baju dan celana yang bersih buat ganti setelah mandi diatas sebelum berdoa, serta perlengkapan mandi, perlengkapan shalat dan jaket atau selimut untuk menahan rasa dingin,’ saran pria yang merupakan Juru kunci generasi ke lima.

Siapakah Syekh Jambukarang

Siapa sejatinya Syekh Jambukarang? Dari menakah beliau? Itulah pertanyaan yang timbul dari tamu yang baru pertama kali hadir dalam lelau ritual di petilasan keramat ini.

Konon cerita yang berkembang serta data yang dikutip dari berbagai sumber terpercaya menyatakan, kalai Pangeran Syekh Jambukarang berasal dari Provinsi Jawa Barat dan merupakan putra dari Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman, Raja Padjadjaran I. Syekh Jambukarang di masa mudanya memiliki nama Adipati Mendang atau lebih dikenal dengan sebutan Raden Mundingwangi.

Dijelaskan Sujadi, Raden Mudingwangi sebenarnya akan dijadikan penerus ayahnya sebagai Raja Padjadjaran, tetapi Raden Mudingwangi lebih tertarik menjadi seorang Pandhito (petapa). Sehingga tampuk Pemerintah kerajaan diserahkan kepada adiknya, Raden Mundingsari, yangkemudian dinobatkan sebagai Raja ditahun 1190 Masehi.

Disisi lain, Raden Mundingwangi memilih bertapa di Gunung Jambu Dipa. Di gunung inilah Raden Mudingwangi mendapat wahyu untuk segera mengganti nama menjadi Pangeran Syekh Jambukarang. Begitu pula dengan gunung dimana Jambukarang bertapa, hingga sekarang ibi dukenal dengan nama Gunung Karang, yang terletak di wilayah Karesidenan Banten, Privinsi Banten.

Sementara itu, saat dirinya masih melakukan tapa brata di gunung itu, Jambukarang melihat adanya cahaya atau nur sebanyak tiga buah berwarna putih dan menjulang tinggi ke angkasa dari arah timur. Selanjutnya Jambukarang mencoba mencari letak titik cahaya yang sangat terang tersebut dengan didampingi 160 orang santri pengikutnya.

Setelah melakukan perjalanan guna mencari titik cahaya yang terang itu, akhirnya ditemukan sumber cahaya atau nur yang ternyata terdapat di Gunung Panungkulan, atau ada yang menyebutkan sebagai Gunung Cahya atau Gunung Ardi Lawet. Yang sekarang ini masuk di Dusun Grantung, Desa Panusupan, Kecamatan Karang Moncol. Seiring berjalannya waktu, tersebutlah seorang MubalighIslam dari negara Arab yang sangat terkanal dengan sebutan Syekh Atas Angin.

Saat dirinya usai menjalankan shalat subuh, Syeck Atas Angin mendapatkan wahyu untuk mencari titik cahaya atau nur yang sangat terang dan berada di sebelah timur, sehingga Syekh Atas Angin bersama 200 orang pengikutnya segera pergi meninggalkan negara Arab menuju ke arah timur untuk mencari sumber cahaya sesuai wahyu yang didapatnya usai shalat Subuh.

Syekh Atas Angin bertemu dengan pangeran Syekh Jambukarang yang terlebih dulu menemukan sumber cahaya tersebut, dan sedang melakukan ritual petapaan di gunung Cahya. Selanjutnya Syekh Atas Angin memberi salam secara Islam. Tetapi salam itu tidak dijawab oleh pangeran Syekh Jambukarang. Karena waktu itu Syekh Jambukarang adalah seorang pemeluk agama Hindu.

Singkat cerita, Syekh Jambukarang yang merasa terganggu patapaannya, menantang adu kesakten (kesaktian,red) dengan Syekh Atas Angin. Dalam hal ini Syekh Jambukarang menyatakaan janjinya, bila dirinya kalah dalam adu kesakten itu maka siap menjadi pemeluk agama Islam yang disyiarkan Syekh Atas Angin

Kedua Syekh akhirnya saling beradu kesaktian. Pada menit-menit terakhir, rupanya Pangeran Syekh Jambukarang merasa kewalahan dan kelelahan, hingga dirinya mengaku kalah yang selanjutnya bersedia memeluk agama Islam.

Syekh Atas Angin pun menyetujui untuk mengakhiri pertarungan hebat tersebut dan berucap syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum memeluk agama Islam. Syekh Jambukarang diwajibkan utnuk melakukan beberapa syarat rukunnya seperti mandi taubat, memotong rambut dan kuku, yang hingga sekarang ini masih diyakini kalau sisa potongan kuku dan rambutnya ada terpendam di petilasan keramat itu.

“Syekh Jambukarang dalam kesempatan ini dianugerahi tambahan nama depannya menjadi Pangeran Wali Syekh Jambukarang. Ketika aku diberi Ilmu kewalian oleh Pangeran Wali Syekh Atas Angin, beliau (Syekh Jambukarang) memberi saran agar dilaksanakan di Gunung Kraton yang  letaknya tidak jauh dari Gunung Cahya. Pada saat ilmu Kewalian sedang diajarkan oleh Syekh Atas Angin, hampir semua Gunung yang ada di sekitar Gunung Keraton itu merunduk seakan memberi hormat,” jelas Sujadi, yang merpakan anak kedua dari Almarhum Martawiroji, juru kunci sebelumnya.

Hanya satu gunung yang puncaknya tidak mau tunduk dan berdiri tegak membentuk seperti kepalan tangan manusia. Gunung itu bisa dilihat dari arah Kota Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga. Gunung tersebut diberi nama gunung Bengkeng (Membandel).

Punya Anak Dari Jantung Pisang

Untuk melengkapi ke Islaman Pangerab Wali Syekh Jambukarang, selanjutnya Syekh Jambukarang diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah. Sepulang menunaikan ibadah haji, sebagai ucapain terimakasih Syekh Jambukarang kepada Syekh Atas Angin, maka putrinya yang bernama Nyi Rubiah Bekti yang tercipta dari Jantung Pohon Pisang dinikahkan dengan Pangeran Syekh Atas Angin.

“Karena Pangeran Wali Syekh Jambukarang tidak mempunyai istri sehingga dengan kehebatan ilmunya, dia menciptakan seorang gadis dari Jantung Pohon Pisang untuk diangkat jadi anaknya dan dikawinkan dengan Syekh Atas Angin yang masih melajang,” rinci Sujadi.

Sehingga bagi seluruh warga desa dan para peziarah yang datang ke petilasan Syekh Jambukarang, ujarnya, ada pantangan seumur hidupyang harus ditaati dan dipatuhi. Yaitu dilarang makan sayuran yang diolah dari bahan dasar ‘ jantung pisang ‘ karena jantung pisang disimbolkan sebagai ibunda dari Nyi Rubiak Bekti.

“Masa, kita sebagai anak, akan makan ibu kita sendiri, jadi yaa wajib tidak boleh memasak sayuran jantung Pisang. Hingga akhir hayatnya kedua Syekh itu tetap tinggal di atas Gunung Cahya atau lebih dikenal dengan gunung Lawet atau Ardi Lawet,” tegasnya Sujadi

Setelah wafatnya kedua kesepuhan itu, lanjut Sujadi, perjuangan penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Tengah, diteruskan oleh anak dan cucunya. Seperti Pangeran Wali Syekh Makhdum Husein, hingga munculnya Sembilan Wali yang terkenal dengan sebutan Wali Songo.

Makam Syekh Jambukarang yang terdapat di puncak Gunung Cahyana atau Ardi Lawet, diyakini banyak warga masyarakat hingga  sekarang ini memiliki kekuatan Mistik yang bisa membantu keslitan orang yang memanjatkan doa kepada Allah melalui perantara Syekh Jambukarang.

“Para kesepuhan didesa ini maupun dari luar Purbalingga menyatakan kalau Syekh Jambukarang dan Syekh Atas Angin setelah dikebumikan langsung muksho atau murca atau menghilang bersama jasadnya kembali kepada Sang Pencipta Alam Semesta ini. Jadi yang didalam makam itu hanyalah kain pembungkus mayat dan potongan rambut serta kuku dari Pangeran Wali Syekh Jambukarang,” papar Sujadi menyakinkan.

Ardi Lawet. Merupakan Tempat Petilasan Tertinggi Di Jawa

Sementaranama dari Ardi Lawet, dimana Pangeran Wali Syekh Jambukarang dimakamkan itu sendiri berasal dari kata Ardi yang berarti Gunung dan kata Lawet berasal dari bahasa arab yaitu Khaiwat, yang mempunyai arti bersemedi atau berdoa, sehingga Ardi Lawet adalah Gunung tempat berdoa kepada Allah SWT.

Setelah pangeran wali Syekh Jambukarang meninggal, maka tempat tersebut oleh warga desa dikeramatkan dan hingga sekarang ini dijadikan obyek wisata religi yang diakui sebagai tempat petilasan tertinggi di Pulau jawa.

“Saya sendiri sebagai pedagang yang biasa berjualan dipasar Ajibarang, Kabupaten Bantumas, sudah membuktikan adanya perubahan hidup yang lebih baik dan tertata dalam hal kerejekian serta cukup laris. Yang penting disini jangan meminta barikah kepada Syekh Jambukarang, tapi memohonlah kepada Allah SWT melalui perantara Syekh Jambukarang. Jadi saya sangat cocok datang ke petilasan ini karena tidak menjadi syirik, dan sudah lebih dari 10 kali saya datang kemari,” ujar Warsun (57), warga Desa Tumiyang, Kecamatan Ajibarang, Banyumas.

Tidak hanya warsun yang sudah memetik kesuksesan dari hasil jerih payahnya setelah bermunajat kepada Allah di gunung Ardi Lawet yang tingginya mencapai 3.805 dpl (diatas permukaan laut). Diutarakan Sujadi, sebut saja mantan Kapolri Jenderal Polisi Sutanto, pria asli kabupaten Pemalang, kemudian Mantan Presiden RI ke IV megawati Soekarnoputri, Dimyati Hartono, serta masih banyak lagi pejabat yang tinggal di Kota Metropolitan Jakarta, maupun di tingkat Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat.

“Bahkan dari luar negeri seperti malaysia, Hongkong dan Taiwan serta Oman pun ada yang percaya dan menyempatkan datang ke petilasan ini. Sementara itu bagi yang akan datang ke petilasan ini, jangan terkejut kalau selama perjalanan dari jalan raya hingga kepintu gerbang akan dikerubuti anak-anak kecil mengemis dengan gaya seperti kera,” papar Sujadi.

Kelakuan anak-anak dibawah usia 10 tahun yang suka mengemis dengan gaya seperti kera ini, menurut Sujadi, bukan disengaja tapi merupakan kutukan bagi Desa Panusupan, karena di jaman masih hutan belantara dan jarang penduduknya, di daerah ini sangat banyak kera atau Kethek dalam bahasa Jawa. Kera-kera ini dirasa pengunjung sangat mengganggu orang yang akan datang menuju makam Syekh Jambukarang yang ada di puncak gunung Ardi Lawet.

Seiring perkembangan jaman, desa panusupan mulai banyak dihuni warga masyarakat dan warga meminta di petilasan Syekh Jambukarang agar kera-kera tersebut dijauhkan dari lingkungan Desa Panusupan.

“Memang permintaan warga desa dipenuhi tapi dengan satu syarat yaitu sifat dari kera atau kethek yang suka meminta-minta atau mengemis ini akan menurun pada anak yang berusia di bawah 10 tahun,” papar pria kelahiran 29 Nopember 1968.

Selain itu bagi warga Desa Panusupan sendiri, lanjutnya, jika akan melaksanakan hajatan pesta pernikahan atau sunatan, diwajibkan untuk ziarah terlebih dahulu ke Makam Syekh Jambukarang untuk memohon petunujk yang akan diberikan melalui wangsit. Karena apabila hal ini dilanggar maka akan terjadi sesuatu di keluarga yang sedang melaksanakan pesta hajatan tersebut.

“Sedangkan bagi pengunjung yang berniat ziarah, maka diwajibkan untuk membawa kembang Ketelon, kembang sawur dan kemenyan serta memberi uang mahar kepada Juru Kunci yang besarnya relative, tapi seikhlasnya. Datanglah mulai Hari Minggu hingga Jum’at, karena di hari Sabtu semua Juru Kunci tidak melayani tamu, dan pintu gerbang pun dikunci,” pungkas Sujadi.

Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor -

>