MAKNA MENGHENINGKAN CIPTA DAN KARSA
Oleh : Dwi R.L
Dalam tradisi budaya nusantara, resep sukses itu terangkum dalam istilah cipta, rasa dan karsa. Tiga komponen kata tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan (tritunggal). Pada masa lalu, kemampuan manusia dalam mengolah cipta, rasa dan karsa telah menghasilkan peradaban menakjubkan.
Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke yang lebih rendah adalah sebagai berikut;
- Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;
- Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;
- Cahya atau Cahaya (Nurullah), meretas menjadi;
- Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah); meretas menjadi;
- Sukma atau Ruh (Ruhullah).
Urutan diatas adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan bakar.
Ruh yang suci yang akan melanjutkan “perjalanannya” menuju ke haribaan Tuhan, daan akan melewati alam ruh atau alam barzah, dimana suasana menjadi “jengjem jinem” tak ada rasa lapar haus, emosi, amarah, sakit sedih, dan sebagainya. Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa dan tanpa karsa. Yang ada hanyalah ketenangan sejati, menembah kepada golongan Dzat, lebur dening pangastuti.
Nasehat keutamaan kemuliaan dalam hidup adalah bersyukur, selalu menjaga kesucian jiwa raga, beramal shaleh dan sabar, berbudi pekerti yang luhur,setya dan mengamalkan ajaran cinta dan kasih sayang kepada sesama, alam semua penghuninya, tanpa membedakan suku, ras dan agama. Menuju kemulyaan kehidupan yang penuh belas kasih damai, sejahtera dan penuh ketentraman dalam kehidupan.
Cipta, rasa dan karsa merupakan kekuatan manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Inilah yang melahirkan peradaban besar dimasa lalu, sebagaimana ditunjukkan orang-orang yang hidup pada masa Majapahit, Mataram, Singasari, Demak, Sriwijaya dan lain-lain.
Begitu pula dengan tokoh-tokoh besarnya seperti Gajah mada, Hayam Wuruk, Sultan Agung, Prabu Siliwangi, Wali Songo, sukarno, Arupalaka, Diponegoro dan lain-lain. Itulah sebabnya, umumnya orang-orang tua dahulu sering mengatakan bahwa apabila kita bisa menyelaraskan 3 komponen kata diatas, maka kita akan bisa merasakan nikmatanya kehidupan (kemakmuran dan kebahagiaan)
Pertama mari kita bahas mulai dari kata HENING, hening adalah Tenang, damai, sepi, ataupun bisa berarti sunyi, menenangkan. Arti kata CIPTA adalah pikiran, sedangkan RASA adalah alat untuk kita bisa merasakan pada ruh, bisa disebut atma sarira dan KARSA adalah kehendak kebenaran, kebajikan apa-apa yang berujung pada nilai keluhuran kebajikan, keutamaan, sifat dan perilaku terpuji, termasuk amal salah dan kasih sayang didalamnya.
Banyak sebagian dari kita berpendapat hening didapat pada waktu malam, walaupun ada dan kenyataannya demikian, sesungguhnya hening yang sesungguhnya tidak terikat waktu, saat, masa bahkan tempat. Banyak juga orang bisa mengheningkan hening ini, misalnya pada saat sedang dalam melakukan semedi, sholat, ketika kita sedang bertafakur, juga berpuasa.
Didalam kesepian sendiri dan gelapnya malam, jauh dari keramaian suara, dan hiruk pikuk dunia, ada juga yang mengatakan demikian saja saat hening ada, hening demikian belum disebut hening yang sempurna, hening demikianlah hening fokus saat tertentu, hening demikian belum masuk dalam proses tiap detik waktu, apakah hening seperti ini hanya Anda bisa rasakan dalam proses tiap detik waktu, apakah hening seperti ini yang hanya Anda bisa rasakan dalam pikiran hati dan batin Anda?
Jika demikian adanya, berarti prosentase keheningan dalam pikiran hati dan batin Anda baru menepati separuh saja. Dengan hening pikiran hati dan batin anda akan lebih dewasa, dengan hening hati menjadi tenang. Dengan hening maka pandangan mata lahir dan batin akan melihat kejernihan, kejujuran dan kemurnian. Dengan kita bisa melihat kejernihan, kejujuran dan kemurnian sejati, maka tampaklah apa-apa yang ada didalam isinya.
Contohnya bagai sebuah air, ketika air itu jernih tentu kita akan berlama-lama dalam melihatnya apa-apa yang didalamnya, tanpa sadar terkadang diri ingin menyentuhnya, bahkan terlihat jelas dan Gamblang akan seluruh isinya. Baik air yang berada didalam diam, maupun air yang bergerak. Bukankah ini yang dinamakan kejernihan sejati seorang, dia bisa melihat dengan jelas isi dalam sifat dan perilaku dirinya “itulah hikmah dibalik jika diri ini bisa meraskan makna yang tekandung didalamnya.” Dari makna hening diatas kita dituntut agar selalu berada dalam keadaan hening cipta rasa dan karsa setiap waktu dan detiknya dalam kesadaran. Apakah tujuannya?
Dengan kita bisa mengheningkan cipta rasa dan karsa, kesadaran yang sensitif, peka, melihat setiap waktu tanpa teikat detik jam hari bulan tahun, maka kita akan merasakan nilai kejernihan yang nampak pada diri, tergantung arah mana kita dalam menjalankan, ketentraman kedamaian dalam menjalani hidup ini.
Walaupun dari sesering sholat, bertafakur, Mesubudhi, berpuasa adalah salah satu jalan untuk menemukannya, dan diharapkan semakin tumbuh besar keheningan dan kebeningan itu sendiri. Dan tanpa sadar Anda dibawa menuju introspeksi diri setiap waktu yang dilalui selalu melihat kemurahan dan keagungan Tuhan YME, selalu patuh kepada aturan Tuhannya.
Anda tanpa sadar telah mempunyai pengadilam diri dalamnya hati, yang setiap waktu muncul Suara Nurani yang akan memvonis diri apakah sedang pada jalut benar maupun jalur salah. Apakah saat ini hidup anda berguna ataukah sia-sia. Apakah saat ini sedang melakukan DOSA ataukah sebaliknya, Anda sedang melakukan PAHALA.
Anda telah bisa melihat kebenaran dan kesalahan tanpa bisa ditepiskan oleh pikiran, hidupnya selalu introspeksi Diri terkendali dan terkendali. Kesatuan jiwa raga pada kejujuran dan Kermurnian. Itulah hikmah tanpa kita sadari jika selalu mengolah dan menjalankan “MENGHENINGKAN CIPTA RAHSA DAN KARSA”
Ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa, misalnya rasa penasaran karena masih ada tanggungjawab dibumi yang belum terselesaikan, atau jalan hidup atau “hutang” yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran.
Oleh karena itu dalam konsep Kejawen dipercaya adanya arwah penasaran yang masih berada didalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup yang dijadikan sebagai media komunikasi , karena kenyataanya bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya mengapa didalam ajaran Kejawenan terdapat tata cara “penyempurnaan” arwah (penasaran) tersebut.
Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaa adalah mati moksa atau mosca atau mukswa. Yakni warangke (raga0 manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke rumah ruh. Tuh suci / roh kudus (ruhul kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada 20 sifat Dzat, misalnya kodrat,iradat, berkehendak, mandiri, abadi dst.
Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga.hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Masa Suci.
Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenagkan perang Baratayudha (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama atau segala bentuk terorisme.
Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri atau Jihad secara Kejawenan, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiaan (habluminannas) yakni; rela (rilo), ikhlas (legowo), menerima/ qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingatkan Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawenan berikut ini :
“ jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendir (Dzat).”
Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis yakni”sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (menembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.
Selain kesadaran diatas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada didalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni;
1. Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.
2. Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar
3. Janganlah kebanyakan minum, tetapi minumlah jika sudah merasa haus.
4. Jangan gemar tidur, tetapi tidurlah jika sudah merasa kantuk.
5. Jangan lah banyak omong, tetapi bicaralah dengan melihat situasi dan kondisi
6. Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu.
7. Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang, walaupun sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga kira.
Demikian pula, didalam hidup ini jangan sampai kita terlihat dalam 8 perkara berikut;
1. Mengumbar hawa nafsu
2. Mengumbar kesenangan
3. Suka bermusuhan dan tindak aniaya
4. Berulah yang meresahkan
5. Tindakan nista
6. Perbuatan dengki hati
7. Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja
8. Enggan menderita dan prihatin
Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku hanya akan menjadi aral rintangan dalam meraih cita-cita, seperti digambarkan dalam rumus bahasa berikut ini;
1. Nistapapa; Orang nista mendapat kesusahan
2. Dhustalara; Orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin
3. Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara
4. Niayapati; Orang aniaya pasti mendapat kematian
Perbuatan, Pasti Menimbulkan “Resonansi”
Demikianlah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang kita kumandangkan akan menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai dirikita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya. Hal ini dapat dipahaami sebagaimana dalam pribahasa;
- Barang siapa menabur angin, akan menuai badai.
- Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,
- Barang siapa gemar sedekar kepada yang susah, rejekinya akan mendai lapang.
- Orang pelit, pailit
- Pemurah hati, mukti
Untuk meraih kesempatan dalam melaksanakan tata laku diatas, hendaknya setiap langkah kita selalu eling dan waspada. Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak hanya disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain.
Yang terakhir, hiasilah hidup Anda setiap waktu dengan jengkal nafas Anda dengan mengheningkan cipta, rasa dan karsa. Patuh pada ajaran Agama agar bisa selalu menimang dalam kepekaan rasa, untuk bisa melihat dengan sejelas-jelasnya, sehening-heningnya dan sebening-beningnya, serta sejujur-jujurnya. Gerak-gerik, perilaku dan sifat-sifat dari kita masing-masing, untuk menuju kepada cita-cita hidup yang didambakannya. Dialah ketentraman kedamaian sejati, dalam berkah anugerahilahi dan bumi pertiwi.
Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
>