DIBALIK PETUNG PAWUKON, PERNIKAHAN GIBRAN & SELVI

DIBALIK PETUNG PAWUKON, PERNIKAHAN GIBRAN & SELVI


Oleh : Djoko Judiantoro


Hari pelaksanaan akad nikah Selvi Ananda dan Gibran Rakabuming Raka jika dilihat menurut Ilmu Astrologi jawa atau Pawukon Jawa oleh Mpu Totok Brojodiningrat, salah satu budayawan sekaligus dosen pengaja Fildafat Jawa si ISI Surakarta.


Perhelatan Sakral akad pernikahan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rabuming Raka dengan Selvi Ananda, yang digelar pada tanggal 11 Juni 2015 pukul 09.00 Wib di gedung Pertemuan Graha Saba Solo berlangsung amat meriah sekali. Pasangan Calon temanten putri, Selvi Ananda yang mengawali kedatangannya di Gedung Saba, datang dengan diiringi kibah BBC( Batik Solo Carnival) beserta dengan seluruh kerabat keluarga dari Selvi Ananda.

Calon temanten yang datang dengan menaiki kereta kuda tampak terlihat sangat cantik sekali, bak putri khayangan yang datang ke ngarcapada. Dengan mengenakan pakaian kebaya warna krem yang dihias mote sederhana, putri pasangan keluarga Didit dan Partini ini, selalu meronakan senyum diwajahnya. Di dalam kereta kuda yang dinaiki Selvi Ananda yang nantinya akan menikahkan putri kesayangan mereka dengan putra sulung Presiden Jokowi.

Tak lama setelah kedatanganSelvi Ananda dari rumahnya di jalan Kutai raya Sumber ke Gedung Saba, kemudian disusul kedatangan Gibran Rakabuming Raka yang berjalan kaki dari rumah orang tuanya. Kedatangan putra sulung Presiden Jokowi ini diiringi dengan cucuk lampah Loro Blonyo, gending gamelan sorobalen, beserta dengan seluruh kerabat keluarga Presiden Jokowi. Loro Blonyo bagi masyarakat Jawa dipakai sebagai simbol pasangan temanten yang langgeng. Keduanya senantiasa akan selalu berpasangan sampai kapanpun, sehidup semati dalam cerita abadi Loro Blonyo.

Pehelatan pernikahan putra orang nomor satu di Indonesia ini digelar dengan tata cara adat budaya jawa yang masih sangat kental dan sakral sekali. Bebagai tatacara adat Jawa dipakai dalam setiap upacara jelang pernikahan Selvi Ananda dengan Gibran. Tata cara adat Jawa tersebut diawali dnegan upacara tembungan oleh pihak calon perempuan dirumah kediaman Selvi Ananda.

Dalam upacara tembungan, pihak calon temanten perempuan akan ditanya secara langsung oleh kedua orang tuanya, disaksikan seluruh keluarga kedua calon mempelai pengantin perihal kecintaan dan kesanggupan calon temanten putri dalam menjalankan bahtera rumah tangga bersama calon temanten pria. Usai upacara tembungan dilakukan, keesokan harinya serangkaian upacar adat pernikahan lantas dilanjutkan dengan diawali upacara adat pemasangan Bleketepe, siraman, dodol dawet hingga malam harinya digelar upacara malam Midodareni.

Bleketepe dibuat dari blarak, pelepah daun kelapa yang dianyam menjadi tikar kemudian diletakkan di atas atap rumah keluarga Selvi Ananda. Pemasangan ini menjadi petanda awal dimulainya serangkaian upacara adat jelang pernikahan di rumah ccalon temanten putr. Usai pemasangan bleketepe lantas disusul dengan upacara pembukaan tuwan, yakni membuka tutup pisang raja yang ada di sisi kiri kanan pintu rumah calon mempelai perempuan.

Tuwan terdiri dari sepasang setundun pisang rasa, tebu ireng, kelapa cengkir gading, daun pohon beringin, daun opo-opo dan janur kining. Seluruh rangkaian tersebut menjadi sebuah simbol bagi masyarakat Jawa, tentang harapan kedua calon pasangan temanten kepada Tuhan yang Maha Esa, agar senantiasa diberi berkah keselamatan, kesejahteraan dalam menjalani kehidupan dimasa yang akan datang. Harapan ini juga ditunjukkan kepada alam semesta, agar didalam mengarungi bahtera rumah tangga ke depan, pasangan calon temanten kelak selalu diberi kemurahan berkah sandang dan pangan.

Setelah upacara pemasangan bleketepe dan pembukaan tuwan, tradisi adat jelang pernikahan Selvi Ananda dan Gibran Rakabuming Raka disusul dengan upacara adat siraman dan pemotongan rambut calon temanten putri dirumah Selvi Ananda digelar secara tertutup, prosesi hanya disaksikan oleh keluarga dan kerabat terdekatnya saja. Upacara siraman dan pemotongan rambut calon temanten putri di dalam adat tradisi jawa, dipakai sebagai salah satu cara penyucian dan meruwat calon temanten putri dari sengkala.

Oleh karena itu air yang dipakai pada upacara siraman juga bukanlah sembarang air biasa. Air tersebut diambil dari tujuh sumber mata air yang dipercaya memiliki tuah bagi masyarakat adat Jawa, Ketujuh air tersebut diantaranya diambil dari sumber mata air yang ada di kraton Kesunanan Surakarta, Kraton Mangkunegara, mesjid Agung Surakarta, Air Zam Zam dan beberapa sumber mata air lain disekitar Solo yang diyakini memiliki tuah.

Upacara siraman ini tidak hanya dilakukan oleh pihak calon temanten putri, calon temanten pria juga akan melangsungkan upacara adat siraman di rumahnya sendiri. Air yang dipakai untuk siraman calon temanten laki-laki juga mempergunakan air yang sama, yang diambil dari tujuh sumber mata air keramat. Air ini diambil dari air yang dipakai untuk tradisi siraman calon temanten putri, yang diantarkan oleh kerabat dari keluarga selvi Ananda ke rumah Gibran.

Usai upacara siraman, serangkaian upacara Adat Jawa jelang pernikahan kemudian dilanjutkan dengan upacara adat dodol dawet. Upacara ini dilakukan oleh kedua orang tua Selvi Ananda sebagai ungkapan wujud rasa syukur, bahwa seluruh upacara adat jelang pernikahan telah berlangsung dengan lancar tiada halangan satu apapun. Wujud rasa syukur dodol dawet menjadi sebuah cara bagi masyarakat jawa dalam mengungkapkan rasa syukur kepada alam semesta, serta sebagai simbol pelepasan seorang anak dari kedua orang tuanya, yakni tak lama lagi akan menjalani bahtera rumah tangga dikehidupan yang lebih luas sebagai  seorang istri dari suami yang dicintainya.

Dalam prosesi upacara adat Jawa dodol dawet, para tamu undangan, kerabat beserta seluruh tamu undangan yang hadir siang hari itu di rumahSelvi Ananda, harus membeli dawet dengan memakai uang pembayaran yang berasal dari pecahan genting tanah liat (baca; Kreweng). Uang kreweng sebagai simbol rasa menghargai kepada alam semesta, agar kedepan pasangan kedua calon temanten didalam mengarungi bahtera rumah tangga mampu menghargai alam semesta.

Malam usai seluruh upacara adat berlangsung dari pagi hingga siang hari, pada malam harinya kemudian dilanjutkan dengan upacara adat lamaran, minum air tirta wening oleh calon temanten laki-laki dan tebusan sepasang kembar mayang. Dalam upacara pasrah lamaran, calon temanten pria memberi mas kawin seperangkat alat sholatkepada calon mempelai wanita, yang nantinya mas kawin itu akan diserah terimakan pada saat upacara akad nikah.

Upacara serah terima lamaran ini di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan upacara pasrah abon-abon, yang akam diserah terimakan oleh wakil dari keluarga pasangan Joko Widodo dan Iriana, kepada wakil dari pasangan Didit dan Partini. Usai serah terima abon-abon ibu dari calon mempelai putri kemudian memberi minum air putih kepada calon temanten pria, dalam upacara adat ngunjuk tirta wening.

Trita Wening dalam tradisi adat Jawa dimaknai sebagai “banyu bening kang wening” , bening bukan berarti bersih, tetap lebih kepada makna air suci di dalam batin yang bersih. Tirta wening dipakai sebagai cara menyambung batin calon temanten laki-laki kepada ibu calon mempelai wanita yang telah mengandung calon temanten wanita selama sembilan bulan sepuluh hari, melahirkan dan mendidik hingga akhirnya melepas ke dalam bimbingan calon temanten laki-laki sebagai seorang istri.

Batin seorang ibu akan tersambung dalam upacara ngunjuk tirta wening dengan batin calon temanten laki-laki. Sehingga bagi seorang ibu calon temanten putri, putra Presiden Jokowi saat itu statusnya resmi menyandang sebagai putra menantu bagi kedua orang tua Selvi. Yang dimaksud sebagai seorang putra mantu, yakni anak yang di antu antu atau anak yang ditunggu-tunggu menjadi jodoh bagi putri kesayangannya.

Malam usai seluruh upacara adat pasrah abon-abon dan nganjuk tirta wening dirampungkan, pada prosesi upacara adat Midodareni, lantas dilanjutkan dengan upacara nebus kembar mayang. Upacara nebus kembang mayang adalah upacara adat jawa, yang menceritakan perjalanan duta kedua orang tua calon temanten perempuan didalam mencari wahyu jodoh. Kembar mayang sebagai simbol pasangan dewa dewi yang menjadi harapan bagi kedua calon temanten mempertemukan mereka berdua sebagai jodoh yand sudah di tentukan oleh Tuhan yang maha Kuasa.

Karena pernihan bukanlah sebuah jodoh, melainkan menyatukan pria dan wanita ke dalam sebuah ikatan jalinan rumah tangga yang sah dihadapan hukum negara dan agama. Sedangkan jodoh sepenuhnya merupakan rahasia Tuhan, yang manusia hanya bisa menjalankan kehidupan rumah tangga mereka hingga sampai akhir hayatnya. Didalam pernikahan bisa terjadi perceraian, sedangkan jodoh hanya ada kematian yang akan memisahkan keduanya.

Dalam cerita perjalanan mencari wahyu kembar mayang, dua utusan dari calon temanten putri harus menyanggupi beberapa syarat dari pemilik wahyu kembar mayang. Salah satunya yaitu, usai kembar mayang dipakai dalam perhelatan pahargyan temanten, sepasang kembar mayang nantinya harus dibuang diperempatan jalan. Karena kelak wahyu kembar mayang tersebut akan mencari jodoh bagi orang-orang yang belum memiliki jodoh.

Pada prosesi upacara perhelatan pernikahan Gibran dan Selvi, satu hal yang paling utama harus dihitung adalah pelaksanaan hari akad nikah. Hati tanggal dan jam akad nikah harus dihitung berdasarkan pawukon, kitab babon petuan Jawa yang sudah dipakai sejak ribuan tahun yang silam. Karena seluruh proses upacara adat jelang pernikahan tersebut hanyalah presesi awal sebelum berlangsungnya akad nikah digelar.

Di dalam kepercayaan tradisi adat jawa, kesalahan dalam menentukan hari akad nikah akan berdampak sangkala. Ketidakbaikan dalam kehidupan rumah tangga pasangan temanten, beserta seluruh kerabat dari keluarga pasangan temanten. Bahkan sangkala tersebut, hingga bisa berujung pda kematian. Oleh sebab itu penentuan hari akad nikah biasanya dihitung berdasarkan Pawukon, ilmu pretuang jawa yang dipakai secara turun temurun oleh masyarakay jawa, setiap kali mereka menggelar berbagai upacara adat dan tradisi.

Petung pawukan tidak hanya dipakai untuk orang orang yang ingin menggelar suatu hajatan pernikahan, mendirikan rumah, berpergian dan berbagai upacara adat lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa tak penah lepas dari ilmu petung pawukon. Tak terkecuali pelaksanaan upacara adat pernikahan putra sulung Presiden Jokowi dengan Selvi Ananda juga dihitung berdasarkan ilmu Pawukon.

Hari pelaksanaan akad nikah Selvi dan Gibran jika dilihat dan dihitung menurut ilmu Astrologi jawa atau Pawukon Jawa oleh Mpu Totok Brojodinigrat, salah stu budayawan sekaligus dosen pengajar Filsafat Jawa di ISI Surakarta kepada Misteri menjelaskan, hari akad pernikahan Gibran dan selvi jatuh pada wuku Gumbreg. Dalam satu wuku terdapat tujuh hari, yang satu persatu memiliki makna penghitungan pawukon.

“Tidak semua hari dalam tujuh hari memiliki hak baik yang bisa dipakai untuk menggelar akad pernikahan. Tiap-tiap hari dalam wuku Gumbreg memiliki makna dan arti yang berlainan. Jika salah hitung, kedepan akan sangat mempengaruhi perjalanan hidup orang yang melangsungkan akad pernikahan.” Terang Mpu Totok Brojodiningrat.

Lebih jauh ahli filsafat jawa yang juga konsultan pendeteksi lokasi tambang Batubara di Sumatera, kalimantan dan lokasi tambang emas di wilayah Nusantara ini memaparkan. Petung Pawukon berdasar pada ngilmu kaweruh Pawukon. Pada dasarnya seluruh petung jawa, babon atau induknya tidak terlepas dari kaweruh Pawukon. Namun kaweruh tersebut sekarang ini sudah langka dan jarang yang tahu memahami.

Terdapat tiga puluh wuku dalam Pawukon, yaitu tujuh hari. Dari hari Radite (hari Minggu) sampai dengan Tumpak (hari Sabtu) Dalam wuku Gumbreg, hari yang baik dipakai untuk menggelar hajatan pernikahan yakni hari Jum’at dan Sabtu. Ketidak tepatan dalam memilih hari dan wuku untuk menggelar sebuah hajatan nikah bisa berakibat fatal. Apalagi dilaksanakan pada saat Lebu katiyub Angin yang satu diantaraya jatuh pada hari Rabu dalam wuku Gumbreg.

Lebu Katuyup Angin akan memberi dampak ke depan didalam perjalanan hidup pasangan temanten, apa yang sudah dicapai selama ini akan muspro atau sia-sia, bagaikan debu diatas batu yang diterbangkan angin. Cara mengatasi dan menetralisir kesalahan dalam mengambil petung wuku dari dampak energi negatif yang menyelimuti Lebu Katiyup Angin, harus dilakukan dengan cara diadakan ritual ruwatan Pawukon

Wuku Gumbreg yang diawali dari tanggal 7-13 Juni 2015 du maknai sebagai turunya wahyu kepemimpinan diratawu. Wiku Gumbreg yang dimulai pada hari Minggu Pahing hingga Sabti Pon memiliki petung yang berbeda. Dari mulai tanggal 07 Juni 2015 yang jatuh pada hari Minggu Pahing, memiliki petung yang tidak baik untuk berpergian jauh dan urusan penting.

Untuk segala urusan akan banyak terjadi kebuntuan, sehingga tidak disarankan bagi para pelaku bisnis melakukan segala kegiatan dan urusan pada hari Minggu pahing dalam wuku Gumbreg. Selanjutnya pada tanggal 08 Juni 2015 yang jatuh pada hari Senin Pon, akan terjadi banyak kesialan yang dialami manusia bumi.

Pada tanggal 09 Juni 2015 dalam wuku Gumbreg yang jatuh pada hari selasa wage dalam petung Pawukon, sangat baik untuk upaya pengobatan orang yang tengah menderita sakit stress atau bahkan orang gila. Mereka akan memperoleh kecenderungan cepat mendapat kesembuhan. Apalagi jika tanganya disyarati dengan dibaluri kulit pohon Turi yang sudah ditumbuk lembut. Untuk bisnis kulakan ternak berkaki empat dan berkaki dua sangat bagus. Akan tetapi sebaiknya menghindari pekerjaan atau kegiatan yang penting, seperti mendirikan rumah, boyongan rumah, khitanan dan mantu. Karena pada hari itu bertepatan dengan Lebu Kutiyup angin.

Tanggal 10 Juni 2015 yang jatuh pada hari Rabu Kliwon, adalah hari kebaikan atau keselamatan (Rahayu) baik untuk memulai membabar atau membuat pusaka tosan aji seperti keris, tombak dan lainnya. Hari Rabu Kliwon juga baik untuk memahar atau memberi mas kawin pusaka keris, tombak dan pusaka-pusaka lainnya. Untuk mencari jodoh pendamping hidup hari itu di petung juga sangat baik, tetapi hari ini juga merupakan hari Lebu Katiyup Angin.

Tanggal 11 Juni 2015 dalam wuku Gumbreg yang jatuh pada hari Kamis Legi, baik untuk berpergian sekaligus untuk segala keperluan dan pekerjaan juga akan baik hasilnya. Tetapi untuk menggelar hajatan Mantu, Tanggal 12 Juni 2015 yang jatuh pada hari Jumat bertepatan Bangas Padewan, tidak baik untuk mantu atau hajad penting seperti pernikahan dan khitanan.

Tanggal 13 juni 2015 akhir dari wuku Gumbreg yang jatuh pada hari Sabtu Pon, cenderung banyak rejeki beruntun pada hari otu. Siklus kondisi alam pada hari itu banyak berpihak kepada penghuninya, jika pola pikir dan perilaku selaras dengan kehendak alam.

wuku Gumbreg adalah wuku dibawah pengaruh Dewa Bumi Batara Cakra, kayunya Waringin pohon Beringin. Bisa menjadi tempat berlindung bagi yangg membutuhkan. Burungnya ayam hutan, disayang bagsawan atau priyagung. Perintahnya dingin didepan tetapi panas dibelakang artinya, cara memerintah tenang tapi harus terlaksana apa yang diperintahkannya. Wuku Gumbreg, ‘Geter peter wong tiningku abane’, artinya orang pada segan membantah perintah atau instruksinya, celakanya jika tenggelam. Kala atau pengapesannya berada di Selatan menghadap utara.

“Selama durasi wuku Gumbreg dari tangal 07 Juni sampai dengan 13 Juni 2015 jangan melakukan perjalanan jauh ke arah Selatan,” jelas Mpu Totok Brojodiningrat.

Sebagai catatan ulas Mpu Totok, wuku Gumbreg di bawah pengaruh Batara Cakra, dewa lambang Sastra dan Budaya juga menguasai Pusaka. Maka selama wuku Gumbreg sangat baik sekali untuk mendalami pusaka-pusaka kuna, akan lebih sangat mudah merasuk dalam jiwa.

Konon menurut kaweruh Pawukon jawa, batara Cakra lah yang menurunkan pusaka atau kitab Jitabsara atau ajaran Hasta Brata kepada Bagawan Palasara di pertapaan Ratawu, yakni kawruh tentang kepemimpinan dan ketatanegaraan. Ajaran Hastabrata juga diberikan Begawan Kesawasidi kepada Risang Dananjaya.

Keris yang cocok untuk Wuku Gumbreg adalah keris dapur Jalak Sangu Tumpeng, keris dapur Jalak Dinding. Keris dapur Jalak Sumelang Gandring. Keris dapur Jalak Tilam sari. Keris dapur Jalak Ngore. Keris Dapur Condong Campur, keris dapur Panimbal. wuku Gumbreg tahun 2015 kali ini masuk dalam Pranoto Mongso Sadha. Dengan condronya mangsa (musim) “Tirta sah Saking Sasana”, jatuh pada Mangsa Bediding, siang panas malam dingin menusuk tulang, jarang keringatan. Bagi Bayi yang lahir pada musim ini. Akan memiliki watak yang biasa-biasa saja tidak ada yang begitu menonjol.

“Saat ini banyak petung dipakai oleh orang-orang yang mengaku mampu menghitung dengan Pawukon. Ada yang mempergunakan penganggalan Jawa, kalender hijriyah, tetapi ada juga yang mempergunakan kitab primbondan buku-buku Jawa kuna.” kata Mpu Totok Brojodiningrat.

Tetapi menurut Mpu yang juga mengajar ilmu astrologi jawa dan filsafat di ISI Surakarta ini, Pawukon adalah ilmu astrologi Jawa berdasar pada kaweruh Astrologi jawa kuna yang sudah ada sejak ribuan tahun silam. Kaweruh ini dipakai sebagai dasar pijakan petung dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Jawa kuna ketika itu.


Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor -

>