BAYI DAMPIT PASANGAN MANUSIA DAN PERI
Oleh : Djoko Judiantoro
Kedua bayi yang lahir pria dan perempuan itu dinamakan oleh ayahanda mereka Joko Samudro dan Sri Parwati
Setelah sukses menggelar hajatan ageng perkawinan manusia dengan peri Setyowati di rumah tua Sekar Alas Ngawi, kini Bramantyo Prijususilo melanjutkan kembali narasi perkawinan Peri setyowati dengan Bagus Ibnu Sukodok, menjadi ‘Dhanyang Setyowati Sukodok Membangun Rumah’. Tradisi membangun rumah yang digelar di Sendang arga dan Sendang Ngiyom tersebut pelaksanaan digelar pada tanggal 7 Juni lalu.
Pagelaran tradisi membangun rumah untuk Peri Setyowati menurut Bram, karena atas dawuh dhanyang Setyowati kepada dirinya. Sebagai seorang seniman seni kejadian, sekaligus penganut ajaran kepujanggan didikan almarhum WS. Rendra, Bramanto akhirnya mengemas kejadian spiritual yang pernah dialaminya menjadi sebuah kemasan seni kejadian. Dengan harapan agar masyarakat mampu melihat dan memakai apa sesungguhnya ada di dalam pegelaran ini.
Pagelaran yang dikemas dengan seni tradisi budaya kearifan lokal, dilakukan di sebuah kawasan hutan jati di lereng Gunung Lawu. Hutan Begal atau yang lebih dikenal dengan nama Alas Begal berada di Desa Sekarputih, Kecamatan Widodaren, Ngawi. Jarak tempuh dari Kantor Ngawi ke Alas Begal kurang lebih sejauh 50 km. Kawasan Alas Begal dulu adalah hutan penyangga sumber mata air yang ada di daerah Ngawi dan sekitarnya. Tetapi kawasan hutan tersebut sekarang sudah terkikis habis.
Hampir sembilan puluh persen kawasan hutan penyangga air di Alas Begal rusak akibat pembabatan liar. Sebagian lahan disekitar Sendang Marga dan Sendang Pangiyom yang menjadi sumber mata air utama milik warga masyarakat sekitar, sekarang sudah berubah menjadi lahan pertanian. Tanaman hutan yang dulu menjad penyangga resapan air, sebagian besar kini telah rusak. Kondisi seperti ini membuat warga kesulitan memperoleh air bersih disaat musim kemarau datang.
Oleh Karena itu, pagelaran ini untuk mengingatkan warga masyarakat pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup, khususnya alam di sekitae mereka. Sekaligus menjaga kearifan lokal dalam membangun spiritual antara manusia dengan makhluk halus. Karena menurut Bram, pada dasarnya makhluk halus yang membutuhkan kita, bukan kita yang membutuhkan makhluk halus. Selama ini manusia untuk memenuhi cita-cita dan keinginan manusia.
“Pagelaran ‘Dhanyang Setyowati Membangun Rumah’, sekaligus untuk membangun kembali dekonstruksi budaya yang selama ini dianggap musyrik oleh sebagian kalangan tertentu. “Tegas Bram, panggilan akrab keseharian Bramantyo Prijosusilo.
Dikatakan oleh Bram, proses pembangunan rumah untuk Dhanyang Setyowati yakni mengembalikan kembali kelestarian hutan Begal sebagai tempat untuk bersemayamnya para dhayang. Hutan ini diharap kelak akan teru memberi manfaat kepada masyarakat sekitar, selama masyarakat masih terus menjaga dan melestarikannya. Dalam prosesi acara pembangunan rumah kraton Setyowati, juga akan ditanam ribuan tanaman kayu, bamboo, buah-buahan dan segala macam tanaman obat-obatan. Agar di kemudian hari tumbuhan tersebut bias diambil manfaatnya oleh penduduk di sekitar Alas Begal.
Diharapkan juga oleh Bram, hutan tersebut nantinya bias dikelola dengan baik oleh warga masyarakat sebagai hutan edukatif tradisional Jawa, sekaligus laboratorium ‘agro-forestry’ atau ilmu kebun dan hutan, yang masih terus menjunjung tinggi dan melestarikan tradisi kearfan local. Sebagai ujung tombak berharap, anak-anak usia dini bias menjadi ujung tombak dalam konservasi hutan. Karena manfaat hutan akan terlihat 20 hingga 30 tahun mendatang.
“Selain Sendang Marga dan Sendang Ngiyom, terdapat beberapa sumber mata ait di sekitar Alas Begal. Setiap sumber mata air akan mendapat luas lahan konservasi 3 hektar lebih sedikit, sebagai penyangga mata air,” terang Bram kepada Misteri.
“Pagelaran ini dalam rangka babad alas membangun keratin Dhanyang Setyowati. Juga merumuskan kembali hutan Jawa seperti pada jaman dahulu kala. Jika hujan tidak pernah banjir, jika kering tidak pernah kekurangan air,” jelasnya.
Pagelaran yang digelar selama dua hari dari mulai tanggal 6-7 Juni 2015, juga diadakan sedekah tumpeng wilujengan oleh penduduk di sekitar Alas Begal. Ratusan tumpeng itu akan dibagikan kepada seluruh warga dan para pengunjung. Rangkaian acara akan di isi dengan berbagai kesenian tradisional, seperti seni tabuh lesung, reog, music tradisional dari Desa Cepogo Boyolali, serta pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon ‘Setyaki lahir’.
“Cerita dalam wayang kulit ini menandai kelahiran kedua jabang bayi Dhanyang Setyowati Sukodok,” ujar Bramantyo Prijosusilo.
Masih menurut pria pemilik omah tua Sekalaras, Jika dalam kalender dunia nyata, kelahiran anak Dampit Setyowati terjadi pada tanggal 1 Juni 2015. Kelahiran si jabang bayi ini juga telah diumumkan kepada khalayak pedhanyangan di seluru tanah jawa, bahwa kedua jabang bayi kembar dampit hasil dari perkawinan Peri Setyowati dengan Mbah Kodok yaitu laki dan perempuan. Masing-masing diberinama oleh ayahanda mereka, Joko Samudro dan Sri Parwati.
Menurut Mbah Kodok, ayahanda kedua jabang bayi yang lahir dampit di alam halus, awal pertama kali kelahiran si jabang bayi diketahui dari sebuah bisikan di telinganya yang mengatakan, “Anak mu uwis lahir”, demikian suara itu terdengar di telinga Mbah Kodok. Mendengar bisikan itu Mbah Kodok langsung tanggap, bahwa anak hasil perkawinan antara dirinya dengan Peri Setyowati sudah lahir. Seperti adat istiadat orang Jawa pada umumnya, pemberian nama lantas diberikan oleh ayahanda mereka sebagai sebutan bagi anak- anak mereka.
Nama Joko Samudro dan Sri Parwati yang diberikan kepada putra dampit pasangan Peri Setyowati dengan pria yang memiliki nama asli Kodok Ibnu Sukodok bukanlah nama biasa. Menurut ayahanda kedua jebang bayi, nama Joko Samudro dan Sri Parwati memiliki idiom tanah dan air. Nama Joko Samudro memiliki arti yang sangat luas, seluas samudera yang disimbolkan sebagai sumber kehidupan bagi akan semesta beserta isinya. Oleh karena itu sebagai orang tua Mbah Kodok berharap, agar kelak Joko Samudro mampu memberi manfaat bagi kehidupan di sekitarnya.
Harapan ini bagi Mbah Kodok tidak bertumpu pada Joko Samudro saja, tetapi putri mereka yang bernama SriParwati di harapkan juga mampi memberi manfaat kehidupan sandang pangan bagi penduduk di sekitar Alas Begal. Nama Sri Menurut ayahanda mereka simbol dari sebuah kemakmuran pangan. Sedangkan nama Parwati adalah symbol kekuatan, sebagai pelindung kemakmuran adar terhindar dari segala bencana pagebruk, kekeringan maupun wabah tanaman. Kedua anak ini nantinya akan menjad simbol kehidupan, ketentraman, serta kekuatan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar
“Wayang kulit semalam suntuk dalam rangka sepasaran kedua jabang bayi dan membangun Keraton Ngiyom yang mengambil lakon Setyaki lahir, digelar oleh dalang Ki Sudirman Ronggo Darsono,” kata Mbah Kodok kepada Misteri.
Cerita wayang tersebut mengisahkan seorang tokoh perempuan bernama Warsini alias Setyowati yang melahirkan dua orang anak yaitu Setyaki dan Setyaboma. Pagelaran wayang kulit yang digelar di pinggir Sendan Marga, dikemas dengan cara tradisi Jawa kuna. Tak jauh dari lokasi pagelaran wayang, terdapat pelaminan tempat tidur si jabang bayi yang dibuat dari klaras daun pandan.
Pelaminan ini layaknya seperti bale tempat istirahat para petani di sawah. Diatas pelaminan kedua jabang bayi, terdaprt sepasang bantal dan gulng yang diperuntukkan bagi kedua jabang bayi. Di atas bale tempat tidur bertebaran bunga melati dan cempaka. Sedangkan di sekitar pelaminan, bunga mawar setaman Nampak berserakan disekelilingnya.
Banyak bunga berserakan di bale pelaminan kedua jabang bayi, membuat kawasan di sekitar bale pelaminan jabang bayi berbau wangi bunga. Belum lagi wangi hio yang dibakar de sekitar Sendang Marga, semakin membuat suasana pagelaran malam itu semakin terlihat sacral. Sebagai symbol dari kedua jabang bayi, Mbah Kodok menggambar sosok kedua putranya Joko Samudro dan Sri Parwita pada dua buah cangkir gading ( kelapa muda kuning). Kedua buah cangkir gading diletakkan di pelaminan bale tempat tidur dan dilapis dengan bantal dan guling.
Dikisahkan perjalan cinta kasih antara Peri Setyowati dengan Mbah Kodok terjadi sejak beberapa tahun yang silam. Tetapi cinta tersebut akhirnya disatukan oleh Bram melalui sebuah ritual sacral perkawinan Peri Setiowati dengan Mbak Kodok pada oktober 2014, yang dikemas dalam sebuah seni kejadian di rumah tua Sekaralas.
Perkawinan Mbah Kodok dengan Peri Setyowati terjadi saat Mbah Kodok di Alas Ketonggo Ngawi. Waktu itu Mbah Kodoj yang sedang membangun hajat besar di sungai tempur bertemu dengan Setyowati yang saat ini hendak meminta bantuan kepada penguasa gaib Alas Ketongglo. KArena hujan yang menjadi tempat tinggalnya rusak dihancurkan.
Melihat ada seorang yang membuang hajat di sungai tempur yang dianggap suci bagi para makhluk halus, Setyowati lantas menunjukan sosoknya menegur Mbah Kodok. Dari perkenalan yang tidak disengaja antara kedua makhluk ciptaan Tuhan berbeda alam itu, akhirnya timbulah benih cinta. Cinta keduanya kemudian disatukan dalam ikatan perkawinan oleh Bramantyo Prijosusilo, yang disaksikan seluruh pedhanyangan tanah Jawa di rumah tua Sekalaras.
“Setyowati adalah penguasa Alas Begal yang bertempat di Sendang Marga dan Sendang Pangiyom. Kedua sendang ini berjarak kurang lebih sekitar 200 meter. Selain kedua sendang tersebut, masih ada sendang lain yang ada di Alas Begal, tetapi kondisinya sangat memprihatinkan sekali. Hampir tidak ada debit air yang keluar dari sumber mata airnya,” kata Mbah Kodok mengungkapkan sumber mata air di sekitar Alas Begal.
“Dari beberapa sumber air yang ada di Alas Begal. Hanya Sendang Pangiyom dan sendang Marga yang masih mengeluarkan debit air, meski tak sebesar tahun 70an,” tambah suami Peri Setyowati ini kepada Misteri.
Kedua sumber mata air kata Mbah Kodok menambahkan, dipakai untuk sumber kehidupan masyarakat di sekitar Alas Begal. Untuk keperluan mandi, mengairi tanah persawahan, serta kebutuhan sehari-hari. Di kedua sandang tersebut, dipakai untuk pelaksanaan seni kejadian ‘Dhanyang Setyowati Membangun Rumah’, Selain Bram dan istrinya, turut membantu Misbach dan Pak Zein, selaku tokoh yang menata segala keperluan artistic dan ritual, serta para tokoh spiritual Jawa, beserta para seniman, Mpu, budayawan dan tokoh lain.
Menurut Misbach budayawan sekaligus tokoh seni yang menata seluruh rangkaian acara menjelaskan, Sendang Ngiyom ditata sebagai tempat untuk pelaksanaan upacara pembangunan rumah yang dgelar pada hari Minggu tanggl 7 Juni 2015. Sumber mata air yang berada di bawah pohon, beringin tia tersebut diselimuti dengan kain putih. Sendang Ngiyom atau Pangiyom yang berada di tengah area persawahan, terhubung dengan jembatan bamboo sasak untuk akses masuk dari luar kedalaam sandang.
Sore jelang malam midodareni pembangunan Keraton di Sendang Ngiyom selaku penata lokasi Misbach terlebih dulu harus menggelar ritual memanggil seluruh penguasa air. Ritual ini dilakukan untuk menjaga keselarasan alam sekitar, agar dalam pelaksanaan seni kejadian bias berlangsung aman dan sukses tidak ada halangan satu apapun. Sekaligus dalam rangka menyambut para penguasa sumber mata air di sekitar Alas Begal.
Dalam ritual tersebut Misbach melakukan tapa kungkung di dalam air Sendang PAngiyom. Diiringi dengan tiupan suara seluring yang keluar dari mulutnya, Misbach melantunkan tembang macapat, beberapa orang anak dari warga sekitar turut mendendangkan macapat JAwa. Sebagai pengiring tembang macepat, beberapa orang anak dari waega sekitar turut mendendangkan suara kodok “Kung kong- Kung Kong’, keterlibatan anak-anak dalam seni kejadian ini untuk menanamkan sejak dni rasa kecintaan lingkungan kepada mereka. Agar anak-anak mengenal dan mencintai alam sekitar, sebagai upaya mengedukasi anak. Karena anak –anak ini semua yang akan menjadi ujung tombak pelestarian alam lingkungan di masa yang akan datang.
Selain Sendang Pangiyom, Sendang Maarga juga dihias sedemikian rupa. Sebuah tangga yang diselimuti kain putih dibuat, diperuntukkan bagi Peri Setyowati turun ke Sendang Marga. Sendang ini berupa kolam penampungan sumber mata air, seluas kurang lebih 10 x 18 meter. Disebelah kolam Sendang Marga tumbuh sebuag pohon beringin tua yang usianya lebih seratus tahun. Disisi yang lain berdiri kokoh pohon randu alas dengan tinggi sekitar 30 meter menjulang ke atas.
Kedua pohon yang dipercaya sebagai tempat bersemahyam para makhluk halus ini semakin membuat kawasan di sekitar Sendang Marga bertambah keramat. Sementara itu tak jauh dari Sendang MArga terdapat juga situs batu Selo Pundhutan, Situs baru Mustika Wareh dan situs batu Tempuri. Bantu –batu ini diyakini sebagai situs purbakala peninggalan peradaban Majapahit
Situs batu tersebut ditemukan oleh KRT. Soegiyono, seorang abdi dalem kraton Solo yang ditugasi oleh Sinuhun PB XIII Hanggabei untuk mencari dan membuka peradabab yang pernah ditinggalkan semasa itu.
“Keberadaan keratin di Alas Begal tak lepas dari sosok Setyowati, yang diyakini sebagai penguasa keratin pada masa itu,” terang Misbach.
Secara spiritual sebelum pagelaran ini dgelar, pria berambut gondrong yang gemar menekuni dunia spiritual jawa ini memaparkan, selama beberapa minggu dirinya dengan Pak Zein, Bram dan istrinya, terlebih dahulu harus melakukan kntak spiritual batin di Alas Begal. Agar bias memetakan daerah mana saja lahan yang harud di konservasi lebih dulu. Konservasi tidak hanya dilakukan secara kasad mata dengan cara mananam pohon di sekitar sendang, tetapi konservasi batin juga sangat diperlukan. Agar keberadaan para dhanyang di sekitar Alas Begal, secara keseluruhan bias diketahui dimana saja bersemayamnya.
“Karena pagelaran ‘Dhanyang Setyowati Sukodok Mambangun Rumah’ dalam rangka menjaga keselarasan alam beserta dengan seluruh isinya,’pangkas Bram
Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
>