Beberapa bukti yang dapat mengungkapkan antara lain aitu prasasti yang berangka tahun 1506 C, 1957 C dan 1136 C. Sato dari ketiga prasasti yang berangka tahun 1057 C telah dipublikasikan. Prasasti tersebut yang dikenal dengan nama prasasti Hantang (Ngantang), hurufnya digoreskan pada batu dan ditemukan di Ngantang (daerah Malang). Gambarannya berupa seorang manusia wayang dan relief. Kini disimpan di museum pusat dengan kode K-9. Dalam prasasti ini antara lain disebut nama lengkap dari raja Jayoboyo, yaitu: "Cri Maharaja Sang Apanji Jayabhaya.Cri Warmecwara Maddhu¬sudhanawatara Sultrtasinghapakrama / Digjajotunggadewa
nama" O. J.O., LXVIH, Voorzijde, baris 4,5).
Artinya adalah: 'Yang termulia raja agung Jayabaya. Yang termulia tuan dari keadilan titisan Dewa Wishnu (=Mad¬dhusudhanawatara)yang memenangkan dunia dengan nama Uttungga". Nama tersebut mencakup dua pengertlan . Sang apajin Jayabaya adalah nama pribadinya, Cri Warma¬mecwara dalah nama sucinya (Kalangwan, halaman 270). Prasasti Hantang 1057 C diberi tanda Narasinga atau manusia berbadan sings. Narasingha adalah salah satu antara Dewa Wishnu. Isi prasasti itu antara lain adalah: matangnya winangun sang hyang haji prasasti mugweng linggopala tinanda narashinga O. J.O., LXVIII, Voorzijde, baris 15).
Anggapan bahwa raja Jayabaya adalah penjelmaan Wishnu juga terdapat dalam kitab Barathayuda yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Pada pupuh pertama dari kitab tersebut, Mpu Sedah sangat memuji raja Jayabaya.
Katanya "raja tersebut adalah pemberani dan selalu menangdalam peperangan. Pada suatu waktu dewa Ciwa (Girinata)telah datang ke bumi untuk mengucapkan selamat kepadaraja Jayabaya atas segala keberhasilannya dan bersabda bahwa raja tersebut kelak akan menjadi raja besar (cakrawatin);setelah mengucapkan itu dewa Ciwa kembali ke kahyangan""Pujlan Mpu Sedah diteruskan sebagai berikut: "Demikianlah Mpu Sedah didalam tahun Caka 1079-1157 M, menunjuk raja Jayabaya sebagai pengejawentahan dari dewaWishnu; yang dalam bulan ketiga ia selalu duduk diatas kepala musuh; yang seperti halnya hari pada permulaan bulan ia dimintai hidup apabila muncul dihadapan mush; yang perkasa dalam pepeangan, dapat disamakan dengan pasupati untuk menundukkan musuh". Selain itu gambaran raja Jayabaya se-ring dinyatakan antara lain sebagai berikut : "Keadaan yang kacau/penuh bencana hanya dapat diatasi oleh raja agung sebagai wakil Tuhan didunia. Hanya kehendak Tuhan yang direnungkan dalam hatinya. Sewaktu berperang prajuritnya bukan manusia melainkan kehendak Tuhan. Banyak musuh yang tewas, semua pembrontak ditumpas sampai habis, Jayabaya memang raja yang bijaksana, pemaaf dan pengasih, tidak memetingkan harts bends, semuanya demi kesejahteraan hidup rakyat kecil"
4. Gelar Sang Apanji
Keagungan Jayabaya dapat kita temui dalam beberapa hal, antara lain: Raja Jayabaya memakai gelar Sang Apanji. Gelar ini ternyata sangat terkenal baik pada zaman Kediri ataupun mass-mass kemudian. Dari gelar ini timbul berma¬cam-macam versi dan variasinya. Misalnya saja: Panji Inu Ker¬tapati, Panji Kuda Semirang. Panji Kudalaleyan, Ande-ande Lumut dsb. Pokok persoalan yang dibicarakan dalam cerita Panji ialah pertemuan antara puteri Daha (Galuh Candrakirana atau Meting Kuning) dengan jejaka dari Jenggala (Inu Kerta¬pati atau Ande—Ande Lumut).
Masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa sangat gemar membicarakan tentang "jangka atau ramalan Jayabaya" Berulangkah dibicarakan dan ditulis baik dalam majalah atau surat kabar tentang arti dan firasat jangka atau ramalan terse-but. Nama atau materai Jaoyoboyo pernah dipakai untuk ma¬terai prasasti Talam yang dikeluarkan oleh Cri Maharaja Sawecwara pada tahun 1086C. Hal ini menunjukkan bahwa raja Jopyoboyo adalah seorang raja yang besar kekuasannya. Di lain pihak dapat ditafsirkan bahwa raja Sarmecwara adalah keturunan langsung raja Jayabaya. Keagungan raja Jayabaya juga terbukti dari hasil kesusasteraan. Dalam mass pemerin¬tahan raja Jayabaya ada dua orang pujangga besar yaitu Mpu Sedate dan Mpu Panuluh. Hasil karya kedua pujangga itu sampai sekarang dapat dinikmati. Kitab karya kedua pujangga itu adalah: Baratayudha, Ikatan bahasanya berupa kakawir atau tembang (nyanylan) dalam bahasa Jawa kuno. Isinya adalah peperangan antara pihak Pandawa dan Kurawa di Tegal Kurusetra selama 18 hari. Kemenangan akhirnya berada di pihak Pandawa. Hariwangca, ikatan bahasanya juga keka¬win. Kitab ini dikerjakan oleh Mpu Panuluh sendiri, dalam mass pemerintahan raja Jayabaya. Isinya menceritakan ten-tang kisah Batara Kresna melarikan Dewi Rukmini hingga terjadi perkawinan antara keduanya. Gatutkaca Craja, kitab ini ditulis oleh Mpu Panuluh pada mass pemerintahan Kerta¬jaya, pengganti Jayabaya. Isinya tentang peranan Gatutkaca dalam rangka membantu Abimanyu yang kawin dengan Dewi Siti sundari puteri Batara Kresna.
Demikianlah bahwa pada masa pemerintahan raja Jayabaya tidak sempat memberi peninggalan berupa percandlan, tetapi kesusasteraan yang sangat tinggi nilainya. Pada suatu malam di tahun 1860, Warsodikromo bermimpi. dalam tidurnya. Bahwa dalam sebuah areal gundukan tanah yang telah menjadi rawa dan kadangkala diselingi semak belukar, dulu pernah bertahta seorang raja Kediri yang kesohor yaitu Sri Aji Jayabaya. Serita dalam mimpi tersebut
Kemudian diteruskan dari telinga ke telinga penduduk sekitarnya. Atas petunjuk itu seluruh penduduk secara gotong royong mengadakan pencarlan Petilasan tersebut. Akhirnya dengan dibantu oleh seorang ahli metaphisik, Petilasan tersebut atau peninggalan kerajaan Kediri itu berhasil diketemukan. Letakna di bawah naungan sebuah pohon kemuning. Pohon ini menurut serita juga hasil peninggalan Sri Aji Jayabaya sendiri. Jadi uslanya sudah ratusan tahun.
Sejak saat itu tempat yang tidak begitu luas di tengah rawa-rawa mulai ramai dikunjungi orang. Mereka merasa terharu dan bahagia. Bahagia karena berkesempatan dapat mengujunginya, sedangkan terharu karena melihat keadaan petilasan yang tidak sepadan dengan keluhuran serta keagungan Sri Aji Jayabaya.
Oleh karenanya banyak pula selanjutnya ingin memugar tempat itu. Tetapi apa hendak dikata, seorang ternyata tidak ada yang berhasil. Malahan beberapa orang mencoba mempra¬karsai pemugaran ada yang meninggal dunia ketika baru me¬masuki tahap pendahuluan. Sehingga akhirnya petilasan terse-but menjaditempat yang "wingit" atau teramat keramat. Na¬mun demikian menurut penuturan Amat Rejo cucu Warso¬dikromo, jurukunci Petilasan, banyak pemimpin atau orang¬orang besar lainnya yang sering berziarah ke tempat itu. Di antara ribuan peziarah, terdapat beberapa orang yang terga¬bung dalam Keluarga Besar Hondodento Yogyakarta. Telah lama sejak diketemukannya Petilasan Sri Aji Jayabaya, keluar¬ga ini sering berkunjung ke tempat tersebut untuk maksud yang sama dengan masyarakat umum lainnya, yaitu berzia¬rah.
Sama pula dengan perasaan masyarakat peziarah pada umumnya, keluarga besar Hondodento terharu melihat peti¬lasan itu. Mereka beranggapan bahwa tidak semestinya apa¬bila keadaannya demikian terlantar. Tapi di balik itu semua sebenarnya tersingkap suatu jiwa besar Sri Aji Jayabaya. Se¬bagai seorang patriot sejati, is tidak pernah berpikir sama sekah tentang tanda jasa yang harus siterimanya. Yang ada dalam lubuk hatinya hanyalah berbakti dan mengabdi pada kehidupan berbangsa dan bernegara demi kesejahteraan umat manusia secara lahir maupun bathin. Memang demikianlah bahwa ketika keluarga besar Hondodento pertama kah ber¬kunjung, yang dijumpai hanyalah seonggok tanah bernisan, ditengah gundukan tanah yang bersemak belukar. Di situ didapatkan sejumlah batu bata merah. Baik dalam keadaan bertumpuk maupun berserakan ataupun terjajar rapi menge¬lilingi onggokan tanah tadi sehingga menyerupai makam. Dari sini pula dapat disimpulkan adanya beberapa pihak yang telah berusaha memugarnya. Namun tidak berkelanjutan atau gagal total.
Kini petilasan tersebut telah berubah menjadi sebuah monumen spriritual yang megah. Bersama-sama masyarakat luas, Keluarga besar Hondodento berhasil memugarnya se¬cara gotong royong. Proses pemugarannya memakan waktu lebih kurang satu tahun, yaitu dari sejak peletakan batu perta¬ma pada tanggal 122 Pebruari 1975 Sabtu Pahing sampai de¬ngan tanggal 17 April 1976 Sabtu Pahing saat diresmikan dan diserahkannya hasil pemugaran kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kediri, atau secara keseluruhan selama 420 hari, dengan total biaya sebesar, 24 juta rupiah. Luas tanah yang dipugar meliputi + 1650m2, yang penggunaannya atas per¬setujuan pihak pimpinan desa atas dasar keputusan kumpulan desa melalui musyawarah desa yang disyahkan dengan kepu¬tusan desa Menang, tertanggal 20 Pebruari 1975, model "E" Nomer 24.
Corak dan wujud monumen spriritual itu merupakan hasil perpaduan konsep irrasional dan rasional. Secara irasional didasarkan atas petunjuk dan dawuh (sabda) dari Sri Aji Jayabaya yang diterima oleh Ki Wirjodikarso alias pak Plered melalui pertemuan di alam astral. Sedangkan secara rasional, maksudnya bahan bangunan disesuaikan dengan kemajuan teknologi sekarang, namun diperhitungkan supaya dapat ta¬han ratusan tahun. Isi petunjuk Sri Aji Jayabaya mencakup letak tempat, bentuk bangunan, bahan untuk bangunan poko beserta. penjelasnnya. Bahan untuk Loka, Muksa dari batu gu¬nung yang diukir oleh manusia. Sedangkan bentuknya ha¬ruslah mempunyai mulai filsafati yang tinggi.
Bangunannya terdiri dari tiga bangunan pokok, yaitu Lo¬ka Muksa atau tempat Sri Aji Joyopboyo muksa, Loka Bu¬sana (Lambang tempat busana diletakkan, sebelum muksa), serta Loka Makuta (lambang tempat mahkota diletakkan se¬belum. muksa). Ayarat utama untuk ketiga bangunan tersebut adalah harus tanpa atap. Maksudnya secara terbuka, langsung terkena sengatan sinar matahari serta curahan air hujan. Ben¬tuknya tetap merupakan hasil konsuktasi segi tiga : Rencana gambar yang dibuat oleh keluarga besar Hondodento dikon-sultasikan melalui Pak Plered (sebagai Medium) kepada Sang Prabu Sri Ajo Jayabaya (sebagai pemberi izin) dan Gusti Kan¬jeng Ratu Kidul sebagai contoh: Lola Makuta agar diletakkan di luar pagar sebagai lambah bahwa zaman”kerajaan" sudah berakhir (di luar) untuk zaman yang akan datang.
Hasil penerjemah dawuh Sang Prabu, berupa gambar bentuk menyatunya lingga dan yoni serta diberi manik (batu bulat berlubang di tengahnya sepeti mata) Gambar rencana ini ternyata disetujui oleh Sang Prabu dalam pertemuannya di alam astral dengan Bapak Plered. Setelah bangunan terse-but selesai orang berpendapat bahwa bangunan tersebut mirip dengan bangunan Monas di Jakarta, hanya saja pada baglan atasnya yang berbeda. Kalau Monas berupa api yang menya¬la-nyala, sedangkan Loka Muksa berupa batu manik.
Batu manik yang bentuknya sepeti mata merupakan pengabdian keluhuran Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Manik atau mata, merupakan kewaskitaan. Jumlah manik pada mo¬numen ini hanya satu buah dan berlubang tembus di tengah¬nya. Satu, maksudnya keterpaduan antara rasional dan irra¬sional, berlubang tembus artinya mampu melihat jauh ke depan. Memang demikianlah bahwa Sri Aji Jayabaya dengan segala sesuatu yang akan terjadi ratusan tahun berikutnya. Hal ini terkenal dengan ramalan jayabaya yang sangat ter¬masyhur.
Bangunan berupa lingga dan yoni mengandung arti bahwa sesunguhnya Tuhan menciptakan mahluknya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Demikian agama mengajarkan pada kita. Keduanya ditakdirkan untuk hidup berpasang-pasangan dan mengembangkan keturunan, dan memang inilah harkat tertinggi dari hidup dan kehidupan itu. Bentuk lingga dan yoni mempunyai pengertlan pula sebagai wadah dan isi, lahir dan batin, raga dan jiwa, yang tampak dan tidak tampak, dan sebagainya, yang menyangkut segala sesuatu yang dua tetapi satu. Atau satu tetapi sebenarnya terdiri atas dua, dan ini akan berlangsung sepanjang zaman.
Bangunan Loka Muksa ini dikelilingi oleh pagar beton bertulang yang tembus pandang dan dilengkapi tiga buah pintu, yang menggambarkan tingkatan hidup manusia yaitu lahir, dewasa dan mati.
5. Sendang Tirtokamandanu
Sebagai tempat proses kelanjutan pemugaran petilasan adalah pemugaran "Sendang Tirtokamandanu" yang pelak¬sanannya berlangsung secara gotong royong sejak tanggal 26 April 1980. Sendang ini merupakan baglan yang tak terpi-sahkan dari Petilasan Sang Prabu Sri aji Jayabaya dengan lo¬kasinya yang berjarak ± 500 meter arah Timur Laut Petilasan.
Latar Belakang Pemugaran. Sendang adalah kolam alami yang bersumber airnya dari mata air. Air ini mempunyai kegu¬naan yang beraneka ragam bagi kehidupan, demikian pula Sendang Tirtokamandanu. Masyarakat mempunyai keperca¬yaan bahwa air sendang tersebut punya suatu keistimewaan, yaitu dapat menambah kekuatan lahir dan batin manusia. Dalam kenyataannya, semakin besar kekuatan yang dimiliki suatu sumber, semakin tinggi pula nilainya bagi masyarakat dan semakin ramai dikunjungi. Hal yang demikian ini bia¬sanya mempunyai hubungan sejarah yang kuat dengan pe¬ristiwa besar di masa lapau.
Tujuan Pemugaran. Pemugaran Sendang Tirtokamanda¬nu juga bertujuan memuliakan keluhuran Sang Prabu Sri Aji Jayabaya sebagai seorang pimpinan besar dan tersohor, titisan Wishnu, agar di kemudian hari dapat dikenal dan dikenang oleh anak cucu atau generasi mendatang, bahwasannya nenek moyang kits adalah bangsa yang besar dan luhir.
Prospek Fungsi Bangunan. Secara fisik mempunyai prospek yang nyata bagi perkembangan sosial, ekonomi dan kultural masyarakat yaitu: melestarikan sumber air, mening¬katkan daya guna air, untuk kebutuhan pengairan dan air bersih. Menambah perbendaharaan monumen sejarah, sebagai obyek wisata dan pendidikan. Secara non-fisik (Spiritual) memberikan prospek nyata bagi perkembangan bangsa dan negara yaitu: Meningkatkan nilai spiritual dalam proses pem¬bentukan karakter dan kepribadlan bangsa melalui pengenalan dan penghayatan terhadap nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia. Mewadahi hasrat spritual masyarakat menurut ke¬percayaan masing-masing. Menambah kekayaan nilai budaya bangsa. Melestarikan kelangsungan sejarah bangsa dan negara. Indonesia.
Fisik Bangunan. Pemugaran bangunan berupa Sendang Tirtokamandanu disyahkan dalam musyawarah desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri Nomor 16/IV/1980 ten-tang pemugaran sumber di desa Menang, yang berkaitan de¬ngan mengenang keluhuran dan kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia. Peletakan batu pertama pemugaran dilaku¬kan oleh Bapak Sekwilda Kabupaten Kediri pada tanggal 26 April 1980, hari Sabtu Pahing. Bangunan didirikan di atas tanah seluas 2.016 m2 (42x46 m) merupakan taman berbentuk empat persegi panjang, dengan pagar kehing transparan dan dilengkapi dengan empat buah patung dewasa di keempat sudutnya. Komponen banguna Sendang berupa: Bagunan utama, adalah sendang yang berupa kolam pemandlan yang airnya selalu mengalir melalui 3 tingkatan (sumber tempat penampungan, kolam pemandlan).
Kolam ini dilengkapi antara lain: Patung Syiwa dan Ga¬nesya, Tempat ganti pakaian, Gapura, Tempat mengambil air, Pagar keliling. Bangunan Pelengkap terdiri dari: Halaman khusus dilengkapi gapura, halaman utama, bangunan pendapa sebagai tempat istirahat, gapura utama, pagar keliling trans¬paran (tembus pandang) dilengkapi dengan empat patung dewa, yaitu Batara Indra, Bayu, Wishnu, dan Brahmana. Se¬cara keseluruhan, konsepsi ini merupakan perpaduan antara Jawa dan Bali. Baik bentuk maupun hitungan untuk masing¬masing susunanya. Sampai bulan Juli 1984, pemugaran Sen¬dang Tirtokamandanu masih dalam proses pembangunan, kira-kira telah mencapai 50% phisik bangunan.
Pemerintah Pusat dengan suratnya, yang disampaikan oleh Departemen Dalam Negeri dalam buan Mei 1984, kepada Bapak Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur menya¬takan pemberlan restunya dan mendukung usaha pemugaran sendang ini, serta akan membantu pula pembiayaan demi pengembangan obyek wisata, peningkatan taraf hidup ma¬syarakat sekitarnya maupun dalam kaftan kelestarlan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Mengingat bahwa baik raja Jayabaya beserta peninggalan-peninggalan sejarahnya adalah milik seluruh masyarakat (tidak hanya terbatas Jawa), maka partisipasi masyarakat itu sendiri. Karma itu siapa saja yang memang merasa ikut memiliki, ikut bangga, ikut bertanggung jawab untuk melestarikan budaya bangsa, dengan segala ke¬rendahan hati kami ajak agar Secara gotong royong serta bahu membahu menyelesaikannya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan petunjukNya dan melindungi bangsa dan rakyat Indonesia agar tetap merupakan bangsa yang besar yang disegani dan dihormati oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia ini. Demikianlah keterangan tentang petilasan Prabu Jayabaya yang disusun oleh panitia Pemerintah Dati II Kediri pada tanggal 17 April 1976.
Pelet Bulu Perindu
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
Pelet Dari Jarak Jauh Nan Ampuh
Gebetan Anda Kembali Rindu Lagi, Tanpa ritual
Klik di sini
Pesan WhatsApp: 62895-35644-0040 Bersponsor
>